- Posted by : Joko Mulyono
- on : June 05, 2025
Di dalam setiap ruang kelas SMK, terdapat dinamika yang tak pernah sama.
Dalam satu kelompok belajar, kemampuan siswa menunjukkan ragam yang begitu
mencolok. Ada yang cepat memahami konsep dan mampu mempraktikkan materi dengan
luwes, namun tak sedikit pula yang memerlukan waktu lebih lama dan bimbingan
yang lebih intensif untuk menguasai keterampilan yang diajarkan. Fenomena
variasi kompetensi ini adalah hal yang wajar, bahkan menjadi ciri khas dari
proses pendidikan yang bersifat personal dan kontekstual. Namun demikian, bila
tidak direspons dengan strategi yang tepat, variasi ini justru bisa menjadi
penghambat bagi siswa berkompeten untuk berkembang lebih jauh.
Bagi siswa yang telah menunjukkan kemampuan tinggi dalam praktik kejuruan,
pengulangan materi dasar atau keterlibatan sebagai pendamping teman kerap kali
menimbulkan kejenuhan. Alih-alih terus berkembang, mereka justru terjebak dalam
rutinitas kelas yang tak menantang. Padahal, semangat belajar mereka bisa tetap
menyala jika difasilitasi dengan bentuk pengayaan yang sesuai. Salah satu
pendekatan inovatif yang mulai diterapkan di sejumlah sekolah kejuruan adalah
sistem peminjaman alat praktik kepada siswa berkompeten untuk digunakan secara
mandiri di rumah. Solusi ini bukan hanya menjadi sarana pengayaan, melainkan
juga medium pembelajaran berbasis kepercayaan, tanggung jawab, dan kemandirian.
Masalah yang paling mendasar dari sistem pembelajaran praktik di SMK adalah
variasi tingkat kompetensi siswa. Dalam satu kelas, kita bisa menemukan siswa
yang mampu merakit sebuah perangkat kelistrikan dengan cepat dan presisi,
sementara yang lain masih belajar membedakan komponen dasar. Ketimpangan ini
menimbulkan tantangan pedagogis. Di satu sisi, guru harus menyesuaikan ritme
pembelajaran agar semua siswa mampu mengikuti. Di sisi lain, siswa berkompeten
seringkali 'dikorbankan' untuk menyesuaikan diri dengan kecepatan
teman-temannya.
Sering pula dijumpai siswa yang secara kompetensi sangat mumpuni diminta
untuk membantu guru mendampingi teman-teman mereka yang belum memahami materi.
Praktik ini, meskipun memberikan nilai edukatif dalam aspek kepemimpinan dan
empati, secara tidak langsung menahan laju perkembangan siswa tersebut. Ia
tidak memiliki ruang untuk mengeksplorasi tantangan yang lebih besar karena
waktunya habis untuk membantu rekannya yang masih tertinggal. Dalam jangka
panjang, potensi maksimal yang dimiliki siswa tersebut bisa tidak tergarap.
Masalah lain yang kerap menghambat pengembangan siswa berkompeten adalah
keterbatasan alat praktik. Tidak semua SMK memiliki jumlah dan variasi alat
praktik yang mencukupi untuk seluruh siswa. Akibatnya, waktu siswa dalam
berlatih menjadi terbatas, apalagi bila harus bergantian menggunakan alat.
Padahal, untuk menguasai suatu keterampilan secara profesional, dibutuhkan
intensitas dan frekuensi latihan yang tinggi.
Melihat kompleksitas tersebut, lahirlah ide untuk memberdayakan siswa
berkompeten melalui sistem peminjaman alat praktik ke rumah. Konsep ini
dilaksanakan dengan seleksi ketat agar hanya siswa yang benar-benar mampu dan
bertanggung jawab yang diberikan kepercayaan. Sekolah dan guru harus menyusun
kriteria objektif, termasuk melihat rekam jejak siswa, minat belajar, serta
kesiapan lingkungan rumah untuk praktik. Ini bukan sekadar meminjamkan alat,
tetapi juga menumbuhkan kepercayaan dan mendorong etos belajar secara mandiri.
Setelah siswa terpilih, mereka diberikan arahan menyeluruh mengenai
penggunaan dan perawatan alat praktik. Guru memberikan briefing tentang batasan
penggunaan, teknik penyimpanan, serta jadwal pengembalian. Ini menjadi bagian
penting dalam menanamkan rasa tanggung jawab. Siswa tidak hanya membawa alat,
tapi juga membawa kepercayaan dari guru dan sekolah. Maka dari itu, pembentukan
karakter melalui program ini menjadi nilai tambah yang sangat signifikan.
Sebagai bentuk kontrol dan pembimbingan, guru tetap melakukan pendampingan
secara digital, misalnya melalui WhatsApp. Melalui saluran ini, guru memberikan
tugas proyek, menjawab pertanyaan teknis, atau sekadar memberi motivasi.
Hubungan guru-siswa tetap terjalin aktif meskipun berada di luar jam sekolah.
Guru bisa menyesuaikan tingkat tantangan proyek dengan kemampuan siswa, bahkan
secara bertahap meningkatkan level kesulitan tugas agar siswa berkembang secara
bertahap namun berkelanjutan.
Hasil dari pendekatan ini mulai terlihat di berbagai sekolah yang sudah
menerapkannya. Siswa berkompeten merasa lebih leluasa dalam mengeksplorasi
bidang keahlian mereka. Mereka bisa mengatur waktu praktik secara fleksibel,
bahkan melibatkan anggota keluarga sebagai objek dalam proyek kecil seperti
perbaikan peralatan rumah tangga. Ini memperkuat hubungan antara pembelajaran
di sekolah dan kehidupan nyata, menjembatani teori dan praktik dengan cara yang
lebih bermakna.
Selain itu, pengayaan pembelajaran dapat tercapai secara optimal. Siswa
tidak lagi hanya menjadi asisten guru atau pengganti teman yang tertinggal,
melainkan benar-benar berkembang ke tingkat keahlian yang lebih tinggi. Mereka
mulai mengenal tantangan riil yang bisa ditemui dalam dunia kerja, sehingga
ketika memasuki dunia industri kelak, adaptasi mereka menjadi lebih mudah.
Guru pun mendapat manfaat besar dari sistem ini. Dengan memberikan tugas
diferensiasi kepada siswa berkompeten, guru bisa memfokuskan energi untuk
membimbing siswa yang masih membutuhkan pendampingan dasar. Ini menciptakan
ekosistem belajar yang lebih sehat dan adaptif. Guru tidak lagi terjebak dalam
skema pengajaran seragam, tetapi bisa menerapkan pendekatan yang lebih personal
dan kontekstual.
Lebih jauh, model pembelajaran seperti ini menciptakan
budaya belajar yang positif. Siswa terbiasa dengan tanggung jawab, menjaga
kepercayaan, dan mengelola waktu dengan baik. Mereka merasakan bagaimana
rasanya dipercaya, dan kepercayaan itu menjadi pemicu semangat belajar yang
lebih tinggi. Hal ini sejalan dengan
filosofi pendidikan vokasi yang bertumpu pada keterampilan, kedisiplinan, dan
karakter.
Pada akhirnya, variasi kompetensi dalam satu kelas bukanlah hambatan yang
harus dihindari, melainkan peluang untuk membentuk pembelajaran yang lebih
manusiawi dan berorientasi masa depan. Peminjaman alat praktik kepada siswa
berkompeten, didampingi dengan pembimbingan digital dari guru, menjadi solusi
konkret yang membuktikan bahwa keterbatasan bukan penghalang untuk berinovasi.
Kepada para guru, penting untuk mengenali potensi siswa dan berani melepas
mereka berkembang melalui metode pengayaan yang terukur. Kenali siapa yang
mampu dan siap diberi tantangan lebih. Kepada pihak sekolah, sistem peminjaman
alat praktik bisa dimasukkan dalam program pengembangan bakat unggulan, dengan
mekanisme yang jelas dan pengawasan yang cermat. Dan kepada para siswa,
manfaatkan setiap peluang untuk belajar mandiri sebagai jalan untuk meningkatkan
kompetensi dan kesiapan menghadapi dunia kerja. Sebab, masa depan mereka tidak
hanya ditentukan oleh apa yang diajarkan di sekolah, tetapi oleh seberapa besar
mereka mengambil inisiatif untuk terus belajar dan bertumbuh.
Penulis : Joko Mulyono, S.Pd,
Guru Listrik SMK Muhammadiyah 2 Cepu