- Posted by : Joko Mulyono
- on : June 07, 2025
Di dalam ruang kelas yang penuh dinamika, guru tak hanya berhadapan dengan
barisan siswa, tetapi juga dengan keragaman kemampuan, minat, dan gaya belajar.
Di satu sisi, ada siswa yang langsung menangkap inti materi hanya dengan
penjelasan singkat. Di sisi lain, tak sedikit pula siswa yang memerlukan
pengulangan, ilustrasi tambahan, dan pendekatan berbeda agar bisa memahami hal
yang sama. Realitas kelas heterogen ini menjadi tantangan besar bagi guru,
terutama dalam menyampaikan materi secara merata tanpa meninggalkan satu pun
siswa.
Dalam keterbatasan waktu, energi, dan kapasitas, guru kerap kewalahan.
Berpindah dari satu meja ke meja lain, menjelaskan ulang konsep yang sama
kepada siswa berbeda, sembari memastikan semua tetap fokus dan paham, adalah
pekerjaan yang sangat menguras tenaga. Bahkan, dalam upaya membantu mereka yang
kesulitan, guru sering kali harus mengorbankan waktu untuk siswa yang justru
sudah siap melangkah lebih jauh. Ketimpangan perhatian ini berisiko menimbulkan
kejenuhan di satu sisi dan ketertinggalan di sisi lain.
Menghadapi kondisi tersebut, diperlukan strategi pembelajaran yang tidak
hanya cerdas tetapi juga kolaboratif. Strategi yang memanfaatkan potensi siswa
di dalam kelas, menciptakan ruang bagi mereka untuk saling membantu, dan
menjadikan proses belajar sebagai kegiatan yang tidak hanya dibebankan kepada
guru semata. Salah satu solusi inovatif yang terbukti efektif dalam situasi
seperti ini adalah model pembelajaran tutor sebaya.
Tutor sebaya adalah pendekatan di mana siswa yang telah memahami materi
tertentu diberi peran untuk mendampingi dan membantu teman sebayanya yang masih
mengalami kesulitan. Model ini bukan semata bentuk penghematan tenaga guru,
melainkan sebuah strategi pedagogi yang melibatkan siswa dalam proses
pembelajaran aktif, memperkuat pemahaman mereka, dan membangun kepercayaan diri
serta solidaritas di antara sesama.
Permasalahan yang sering muncul dalam kelas heterogen adalah variasi
pemahaman yang sangat kontras. Beberapa siswa dengan cepat menguasai materi dan
bahkan sudah siap menjawab soal-soal aplikasi. Namun, ada pula yang masih
terpaku pada pengertian dasar. Jika guru hanya mengandalkan metode satu arah,
maka yang terjadi adalah pembelajaran yang timpang: terlalu cepat bagi yang
belum paham dan terlalu lambat bagi yang sudah mengerti.
Lebih jauh, guru sering kali kesulitan untuk memberikan perhatian yang
cukup bagi seluruh siswa. Saat guru fokus menjelaskan ulang kepada kelompok
tertentu, kelompok lainnya bisa kehilangan arah atau bahkan bosan. Sementara
itu, beberapa siswa merasa tidak nyaman bertanya langsung kepada guru, baik
karena malu, takut dianggap bodoh, atau sekadar lebih nyaman berbincang dengan
teman dekat. Rasa aman dan keakraban ini justru menjadi potensi besar jika
dioptimalkan dalam skema pembelajaran yang tepat.
Model tutor sebaya hadir menjawab tantangan tersebut.
Dalam praktiknya, guru terlebih dahulu mengidentifikasi siswa yang telah
memahami materi secara baik. Mereka
dipilih bukan hanya berdasarkan nilai, tetapi juga kemampuan komunikasi dan
kesediaan membantu teman. Setelah itu, siswa-siswa ini diberikan pelatihan
singkat tentang cara menyampaikan ulang materi, menggunakan bahasa sederhana,
dan memberikan contoh konkret.
Setiap siswa tutor kemudian dipasangkan dengan satu atau dua teman yang
membutuhkan bantuan. Mereka bekerja dalam kelompok kecil, biasanya dalam waktu
tertentu di akhir sesi pembelajaran atau saat sesi review materi. Di sinilah
proses belajar dua arah terjadi. Siswa yang menjadi tutor memperkuat pemahaman
mereka dengan menjelaskan ulang, sementara yang dibimbing mendapatkan suasana
belajar yang lebih santai, akrab, dan personal.
Peran guru dalam model ini tetap krusial. Guru tidak lagi menjadi pusat dari seluruh proses pembelajaran, tetapi berubah fungsi menjadi fasilitator, pengarah, dan evaluator. Ia memantau dinamika kelompok, memastikan komunikasi berjalan dengan baik, dan memberikan umpan balik jika dibutuhkan. Guru juga dapat memberikan tantangan tambahan kepada siswa tutor agar mereka terus berkembang dan tidak hanya berhenti pada level pemahaman dasar.
Hasil dari penerapan tutor sebaya cukup mencolok.
Waktu pembelajaran menjadi lebih efisien karena guru bisa fokus memberikan
pengayaan kepada siswa yang sudah lebih maju, sementara siswa yang kesulitan
tetap terbantu melalui pendampingan temannya. Proses ini membuka ruang bagi
diferensiasi pembelajaran yang sering sulit dilakukan dalam kelas besar.
Selain itu, guru menjadi lebih mudah dalam memetakan potensi siswa. Selama
sesi tutor sebaya, muncul siswa-siswa yang ternyata memiliki kemampuan
memimpin, menjelaskan, dan membangun komunikasi yang baik—kemampuan-kemampuan
yang tidak selalu terlihat dalam pembelajaran biasa. Penemuan ini penting untuk
pengembangan karakter dan peran siswa di luar aspek akademik.
Bagi siswa sendiri, tutor sebaya menjadi pengalaman
berharga. Mereka yang menjadi
tutor merasa dihargai dan mendapatkan penguatan diri. Sementara siswa yang
dibimbing merasa lebih nyaman karena bisa belajar dalam ritme yang sesuai dan
tanpa tekanan. Lebih jauh, tumbuh semangat saling bantu di antara siswa yang
sebelumnya mungkin belum pernah berinteraksi akrab. Budaya kolaborasi dan
empati perlahan terbentuk, tidak dengan ceramah, tetapi melalui pengalaman langsung.
Pada akhirnya, model pembelajaran tutor sebaya tidak hanya menjawab
kebutuhan akademik, tetapi juga menyentuh dimensi sosial dan emosional peserta
didik. Inilah bentuk pembelajaran yang utuh—yang tidak hanya fokus pada
pencapaian kognitif, tetapi juga pada pembentukan karakter.
Dari sini, dapat disimpulkan bahwa tutor sebaya adalah pendekatan yang
sangat relevan dan efektif dalam menghadapi tantangan kelas heterogen. Guru
tidak harus memikul semua beban sendiri. Dengan memberdayakan siswa yang sudah
menguasai materi, pembelajaran bisa berlangsung lebih adil dan merata. Mereka
yang sudah paham tidak merasa terbengkalai, sementara yang belum paham tidak
merasa tertinggal sendirian. Suasana kelas menjadi lebih hidup, kolaboratif,
dan menyenangkan.
Lebih dari sekadar strategi akademik, tutor sebaya adalah jembatan menuju pembelajaran yang saling memberdayakan. Ia bukan hanya mempercepat pemahaman, tetapi juga memperkuat rasa percaya diri dan kepedulian antar siswa. Ini adalah bekal penting dalam kehidupan, baik di sekolah maupun di masyarakat luas.
Kepada para guru, inilah saatnya mencoba dan menerapkan model tutor sebaya.
Mulailah dari tahap sederhana, misalnya saat review materi sebelum ujian atau
ketika menjelaskan ulang konsep yang kompleks. Amati bagaimana siswa merespons,
dan terus kembangkan pendekatan sesuai dinamika kelas masing-masing.
Kepada sekolah, dukungan dalam bentuk pelatihan, workshop, atau forum
berbagi praktik baik sangat penting untuk menyukseskan implementasi model ini.
Libatkan guru mata pelajaran lain dan berikan ruang bagi siswa untuk
mengeksplorasi potensi mereka dalam peran tutor.
Dan kepada para siswa, sadari bahwa setiap dari kalian bisa menjadi sumber
belajar bagi teman lainnya. Menjadi tutor bukan soal pintar semata, tetapi soal
kepedulian. Banggalah jika bisa membantu teman memahami materi, karena
sejatinya itulah pembelajaran yang sebenarnya—saling belajar, tumbuh bersama.
Penulis : Joko Mulyono, S.Pd,
Guru Listrik SMK Muhammadiyah 2 Cepu