- Posted by : Joko Mulyono
- on : June 06, 2025
Hari Raya Idul Adha bukan sekadar ritual tahunan. Ia merupakan momen
penting bagi umat Islam untuk mengekspresikan keimanan, ketaatan, dan
solidaritas sosial melalui ibadah qurban. Di balik gemuruh takbir dan suasana
penuh khidmat saat penyembelihan hewan qurban, tersimpan nilai-nilai
kemanusiaan yang luhur: berbagi dengan sesama, mendekatkan hati yang jauh, dan
menguatkan ikatan sosial dalam balutan semangat keagamaan.
Namun, kenyataan di lapangan tak selalu seindah harapan. Di banyak desa dan
sekolah, terutama tingkat SMP dan MTs, pelaksanaan ibadah qurban kerap menemui
kendala. Faktor utama yang kerap menjadi penghalang adalah keterbatasan dana.
Tidak semua lembaga atau komunitas memiliki kemampuan finansial untuk membeli
hewan qurban, apalagi menyelenggarakan proses penyembelihan secara mandiri. Hal
ini menjadi dilema tersendiri, apalagi bagi sekolah-sekolah yang berbasis
Islam. Di satu sisi mereka memiliki semangat tinggi dalam mengamalkan ajaran
agama dan berdakwah melalui aksi nyata, namun di sisi lain terkendala sarana
dan anggaran.
Sementara itu, sekolah-sekolah Islam, seperti yang dikelola oleh
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, atau lembaga swasta Islam lainnya, sering kali
memiliki sumber daya yang lebih memadai. Mereka juga aktif menyelenggarakan
kegiatan sosial keagamaan yang melibatkan siswa sebagai bagian dari
pembelajaran karakter dan dakwah. Namun jika kegiatan ini dilakukan secara
eksklusif tanpa menjangkau masyarakat sekitar yang membutuhkan, manfaat
sosialnya akan menjadi terbatas.
Di sinilah letak persoalan: ada semangat dan sumber daya di satu pihak,
serta kebutuhan dan keinginan yang kuat di pihak lain. Jika keduanya bekerja
sendiri-sendiri, bukan hanya efektivitas yang berkurang, tetapi juga potensi
terjadinya pemborosan sosial dan energi dakwah yang sia-sia. Oleh karena itu,
diperlukan sebuah pendekatan baru yang kolaboratif—kerjasama simbiosis
mutualisme antara sekolah Islam dengan desa atau sekolah-sekolah lain seperti
SMP dan MTs dalam penyelenggaraan qurban.
Simbiosis mutualisme
adalah bentuk hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Dalam konteks
pelaksanaan ibadah qurban, konsep ini dapat diimplementasikan secara sederhana
namun efektif. Sekolah Islam dapat mengambil peran sebagai penyelenggara utama
qurban—mengelola perolehan hewan, proses penyembelihan, hingga pembagian. Sementara desa atau sekolah mitra, seperti SMP dan MTs,
dapat menjadi mitra distribusi sekaligus penerima manfaat.
Bentuk kerja sama ini tidak hanya memperluas jangkauan distribusi daging
qurban, tetapi juga membangun citra positif sekolah sebagai lembaga yang peduli
dan terbuka. Bagi mitra, kerja sama ini memberi kesempatan bagi siswa dan
masyarakat sekitar untuk ikut merasakan keberkahan Idul Adha meskipun tidak
menyelenggarakan qurban sendiri. Ini menjadi solusi atas kesenjangan antara
semangat dan keterbatasan.
Untuk mewujudkan sinergi ini, langkah awal yang harus dilakukan adalah
membangun komunikasi formal antara pihak sekolah Islam dengan perwakilan desa
atau SMP/MTs. Dalam pertemuan tersebut dibahas hal-hal teknis seperti jenis dan
jumlah hewan qurban, lokasi penyembelihan, pembagian tugas panitia, serta
mekanisme distribusi daging sesuai kesepakatan bersama. Kejelasan sejak awal
akan mencegah kesalahpahaman yang berpotensi mengganggu kelancaran pelaksanaan.
Pelaksanaan penyembelihan bisa dilakukan di sekolah penyelenggara atau di
desa mitra, tergantung pada ketersediaan tempat yang memadai. Proses ini
hendaknya melibatkan siswa dari kedua belah pihak untuk memperkuat rasa
kebersamaan. Selain itu, pelaksanaan harus tetap menjunjung tinggi syariat
Islam, baik dari segi tata cara penyembelihan maupun etika distribusi.
Distribusi daging qurban
menjadi tahap penting yang memerlukan ketelitian. Daging dibagi sesuai dengan
daftar penerima yang telah disepakati—biasanya terdiri dari warga miskin, siswa
kurang mampu, guru, dan masyarakat sekitar yang berhak. Dokumentasi kegiatan
dan transparansi dalam pelaporan sangat penting untuk menjaga kepercayaan dan
akuntabilitas, baik kepada donatur maupun masyarakat.
Hasil dari kolaborasi ini membawa dampak positif bagi semua pihak. Bagi
desa atau SMP/MTs yang menjadi mitra, mereka mendapat manfaat nyata berupa
bantuan daging qurban, mempererat hubungan dengan lembaga pendidikan Islam,
serta memberi pengalaman edukatif bagi siswa untuk belajar berbagi dan peduli
pada sesama. Bagi sekolah Islam penyelenggara, kegiatan ini menjadi wujud nyata
dakwah amaliyah. Lebih dari sekadar menyalurkan daging, mereka menyalurkan
nilai-nilai Islam secara aplikatif dan menyentuh langsung kebutuhan masyarakat.
Selain itu, keterlibatan siswa dalam panitia qurban memberikan pelajaran
berharga dalam kepemimpinan, kerja sama tim, serta semangat sosial.
Masyarakat secara umum pun turut merasakan dampaknya. Hubungan antar
lembaga menjadi lebih harmonis, masyarakat semakin mengenal dan menghargai
peran sekolah Islam sebagai bagian dari solusi sosial. Spirit
gotong royong yang mulai luntur karena individualisme bisa dibangkitkan kembali
melalui momen ini. Idul Adha pun bukan hanya menjadi hari raya, tetapi juga
momentum sosial dan spiritual yang membangun.
Beberapa sekolah telah membuktikan keberhasilan kolaborasi ini. Misalnya,
sebuah sekolah Islam di daerah pesisir bekerja sama dengan SMP negeri setempat.
Selain berhasil membagikan daging qurban ke lebih dari 300 kepala keluarga,
kegiatan ini juga diabadikan dan mendapat perhatian media lokal. Seorang kepala
desa yang menjadi mitra menyampaikan apresiasinya, “Kami merasa sangat
terbantu. Ini bukti bahwa kolaborasi bisa membawa berkah bagi semua.”
Meski demikian, tentu ada tantangan yang harus diantisipasi. Perbedaan visi
antarpihak, masalah logistik, hingga keterbatasan SDM bisa menjadi hambatan.
Namun, semua itu bisa diatasi dengan komunikasi intensif sejak awal, penunjukan
tim koordinator yang kompeten, serta komitmen bersama menjaga transparansi dan
kepercayaan. Rapat rutin sebelum hari-H dan evaluasi pasca kegiatan menjadi
kunci agar kolaborasi ini terus berjalan dan berkembang setiap tahunnya.
Idul Adha bukan semata tentang penyembelihan hewan. Ia adalah refleksi
ketakwaan, kepedulian, dan kemanusiaan. Dalam semangat itulah, kolaborasi
simbiosis mutualisme antara sekolah Islam dan desa atau SMP/MTs menjadi strategi
yang bukan hanya logis, tetapi juga religius. Ia menjembatani keinginan
beribadah dengan kenyataan sosial, menjadikan qurban lebih dari sekadar
ritual—ia menjadi solusi.
Mari kita tingkatkan makna Idul Adha melalui langkah-langkah kolaboratif
yang inklusif dan bermakna. Bukan hanya untuk memenuhi kewajiban
agama, tetapi juga untuk membangun masyarakat yang lebih kuat, lebih peduli,
dan lebih bersatu. Semoga model kerja sama ini menjadi inspirasi bagi lebih
banyak sekolah dan desa di seluruh pelosok negeri. Karena sesungguhnya, nilai
sejati dari qurban bukan hanya terletak pada sembelihannya, tetapi pada
keikhlasan dan manfaat yang ia tebarkan.
Penulis : Joko Mulyono,
S.Pd, Guru Listrik SMK Muhammadiyah 2
Cepu