- Posted by : Joko Mulyono
- on : August 09, 2025
Di
tengah laju pesat dunia industri yang kian terdigitalisasi, penguasaan
perangkat lunak desain seperti Autocad menjadi kompetensi wajib bagi para calon
teknisi. Dalam bidang teknik elektro, pemahaman terhadap gambar teknik digital
bukan sekadar nilai tambah, tetapi sudah menjadi kebutuhan utama. Dunia kerja
menuntut lulusan yang tidak hanya bisa berpikir logis dan sistematis, namun
juga mampu menuangkan ide teknis dalam bentuk gambar yang presisi, profesional,
dan siap dieksekusi di lapangan. Maka, penting bagi lembaga pendidikan vokasi
untuk menjadikan keterampilan ini sebagai bagian dari kurikulum dan budaya
belajar sehari-hari.
Di
SMK Muhammadiyah 2 Cepu, titik terang menuju arah itu muncul dari pengalaman
siswa-siswa yang baru saja menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di PT
Fuji Automasi Indonesia, sebuah perusahaan berbasis di Bogor yang bergerak di
bidang otomasi industri. Selama menjalani PKL, para siswa tidak hanya dilibatkan
dalam pekerjaan lapangan, tetapi juga dibekali pelatihan intensif penggunaan
Autocad untuk menggambar skema kontrol listrik dan desain instalasi industri.
Pengalaman tersebut menjadi batu loncatan besar dalam pengembangan kompetensi
mereka, menjadikan mereka lebih percaya diri dan siap bersaing di dunia kerja.
Namun,
muncul satu tantangan mendasar: bagaimana potensi luar biasa yang telah
dimiliki para siswa eks PKL ini bisa diteruskan dan ditransformasikan ke dalam
lingkungan sekolah? Saat mereka kembali ke bangku sekolah, kompetensi Autocad
yang mereka miliki justru belum menemukan ruang penerapan yang memadai. Belum
ada sesi belajar terstruktur yang melibatkan Autocad sebagai bagian dari mata
pelajaran teknik listrik. Guru-guru pun sebagian besar belum mendapatkan
pelatihan intensif dalam software ini. Jika situasi ini dibiarkan, potensi tersebut hanya akan menjadi cerita
lalu, tidak sempat memberikan dampak luas pada ekosistem pembelajaran.
Masalah lainnya adalah kekhawatiran akan hilangnya kompetensi saat siswa
eks PKL lulus. Tanpa proses kaderisasi, sekolah akan kembali ke titik awal,
dengan kompetensi Autocad hanya dimiliki oleh segelintir siswa yang sudah tidak
berada di sekolah. Ini menjadi peringatan serius bahwa sebuah inovasi,
betapapun cemerlangnya, tidak akan berumur panjang jika tidak ditopang oleh
sistem kaderisasi yang kuat dan keberlanjutan program yang dirancang secara
sadar.
Menjawab
tantangan ini, sekolah kemudian mengambil langkah strategis yang berani dan
cerdas. Sebuah program pelatihan internal Autocad dirancang dan dijalankan,
tidak melalui tenaga pelatih eksternal, tetapi justru dengan memberdayakan
siswa eks PKL sebagai mentor. Mereka dilibatkan sebagai pengajar utama dalam
pelatihan Autocad untuk guru dan siswa kelas XI. Ini adalah bentuk pengakuan
terhadap potensi siswa sekaligus cara efektif membangun budaya saling belajar
yang setara dan membumi.
Pelatihan ini tidak sekadar membahas teori. Materi
disusun berbasis proyek dan praktik langsung. Para mentor muda ini membimbing
peserta pelatihan memahami dasar-dasar gambar teknik listrik, mengenal berbagai
fitur Autocad, hingga mampu menggambar skema instalasi motor listrik secara
digital. Mereka juga membagikan
pengalaman langsung saat menerapkan keterampilan ini di dunia industri,
memberikan konteks nyata dan motivasi yang kuat bagi peserta lainnya.
Guru-guru produktif yang mengikuti pelatihan mendapatkan manfaat ganda.
Selain memperluas kompetensi pribadi, mereka juga dapat mulai menyusun rencana
integrasi materi Autocad ke dalam kurikulum atau modul pembelajaran yang lebih
kekinian. Dengan keterlibatan guru, maka pelatihan ini tidak berhenti sebagai
kegiatan satu kali, tetapi menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk
membangun kurikulum yang relevan dengan kebutuhan industri.
Sementara itu, siswa kelas XI yang menjadi peserta pelatihan menunjukkan
antusiasme tinggi. Mereka tidak hanya belajar keterampilan teknis, tetapi juga
menyerap nilai-nilai positif dari para mentor mereka: disiplin, tanggung jawab,
dan rasa percaya diri. Ketika melihat teman sebaya bisa menjadi fasilitator
pelatihan, muncul dorongan kuat dalam diri mereka untuk juga berkembang dan
memberi kontribusi bagi sekolah. Inilah titik awal dari terbentuknya budaya
kaderisasi digital di SMK Muhammadiyah 2 Cepu.
Hasil
dari program ini mulai terlihat jelas dalam waktu yang tidak lama. Para siswa
eks PKL tidak hanya terbukti mampu menjadi mentor yang baik, tetapi juga
menunjukkan keunggulan dalam tiga domain pembelajaran: afektif, kognitif, dan
psikomotorik. Mereka tampil sebagai sosok yang berani memimpin, mampu
menjelaskan konsep dengan runtut, serta cekatan dalam mempraktikkan dan
mengajarkan penggunaan Autocad. Sikap percaya diri dan tanggung jawab mereka
pun menular kepada peserta lainnya, menciptakan ekosistem belajar yang positif
dan suportif.
Dampaknya
meluas ke arah yang lebih strategis. Kompetensi Autocad kini mulai
dipertimbangkan untuk masuk dalam peta pembelajaran jurusan listrik secara
lebih formal. Guru-guru yang sudah mengikuti pelatihan mulai mengembangkan unit
pembelajaran berbasis proyek digital. Beberapa siswa bahkan sudah mencoba
menggabungkan keterampilan ini dengan proyek Tugas Akhir, seperti membuat
layout instalasi listrik rumah tangga berbasis digital. Ini adalah langkah maju
yang menggembirakan, karena memperkuat posisi SMK Muhammadiyah 2 Cepu sebagai
lembaga yang adaptif terhadap perkembangan industri.
Yang
paling penting, pelatihan ini telah menanamkan prinsip keberlanjutan dalam
transformasi pembelajaran. Para siswa yang terlibat sebagai mentor tidak hanya
mengajarkan keterampilan teknis, tetapi juga meninggalkan jejak budaya baru:
budaya belajar mandiri, saling berbagi, dan menghargai keahlian. Sekolah tidak
lagi bergantung pada pelatihan eksternal, karena telah membangun sistem internal
yang mampu menghasilkan dan menumbuhkan kompetensi dari dalam.
Transformasi
ini juga menjadi cerminan bagaimana sekolah vokasi bisa menjadi lebih dari
sekadar tempat belajar, tetapi juga ruang tumbuh yang memberi peran penting
bagi siswanya. Ketika siswa diberi ruang untuk menjadi subjek perubahan, maka
mereka akan tampil sebagai agen transformasi yang mampu mengangkat martabat
sekolah. Dari siswa yang sebelumnya hanya menjalani PKL, kini mereka menjadi
mentor yang berkontribusi besar terhadap keberlanjutan pembelajaran teknik di
sekolah.
Kompetensi digital seperti Autocad bukan sekadar alat bantu menggambar,
melainkan jembatan antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Penguasaan
software ini menumbuhkan cara berpikir sistematis, presisi, dan profesional—nilai-nilai
yang sangat penting dalam menghadapi tantangan industri modern. Maka, tidak
berlebihan jika pelatihan Autocad ini disebut sebagai langkah awal menuju
transformasi besar di SMK Muhammadiyah 2 Cepu.
Kini,
dengan semangat berbagi dan kolaborasi yang tumbuh dari dalam, sekolah telah
memiliki fondasi kuat untuk melangkah lebih jauh. Tantangan ke depan tentu
masih banyak, mulai dari pengembangan perangkat keras penunjang, penguatan
kurikulum berbasis teknologi, hingga pelatihan lanjutan. Namun satu hal sudah
jelas: sekolah ini tidak lagi berjalan sendiri, karena sudah memiliki generasi
muda yang siap memimpin dan membawa perubahan.
Mari
jadikan pelatihan Autocad ini sebagai momentum untuk terus bergerak maju. Kita
tidak hanya sedang melatih keterampilan digital, tetapi juga sedang membentuk
karakter teknisi masa depan yang adaptif, kolaboratif, dan berdaya saing
tinggi. SMK Muhammadiyah 2 Cepu telah menunjukkan bahwa dengan keberanian
berinovasi dan kemauan memanfaatkan potensi internal, transformasi pembelajaran
teknik yang relevan dan berkelanjutan bukan lagi sekadar harapan—melainkan
kenyataan yang sedang dijalani bersama.
Penulis
: Joko Mulyono, S.Pd, Guru Listrik SMK Muhammadiyah 2
Cepu