- Posted by : Joko Mulyono
- on : August 05, 2025
Dalam dunia industri kelistrikan, kemampuan menggambar desain teknik bukan
lagi sebuah keahlian tambahan, melainkan kebutuhan dasar. Salah satu software
yang menjadi standar dalam industri ini adalah Autocad, yang digunakan secara
luas untuk menggambar sistem pengawatan, termasuk instalasi motor listrik. Di
SMK, terutama jurusan kelistrikan, penguasaan perangkat lunak ini menjadi
semakin penting seiring meningkatnya tuntutan dunia kerja terhadap lulusan yang
siap pakai. Namun, masih banyak sekolah yang belum mampu mengoptimalkan
pembelajaran Autocad karena keterbatasan sumber daya dan belum terbangunnya
program pelatihan internal yang sistematis.
Selama ini, ketika sekolah membutuhkan gambar teknik untuk keperluan
pembelajaran atau proyek, solusi yang diambil sering kali adalah menggunakan
jasa pihak luar. Proses menggambar instalasi motor listrik, misalnya, kerap
diserahkan kepada penyedia jasa desain teknik profesional. Di satu sisi, hal
ini menjamin hasil yang presisi. Namun di sisi lain, pendekatan ini memunculkan
ketergantungan yang cukup tinggi. Setiap permintaan gambar memerlukan waktu,
biaya, dan tenaga tambahan, belum lagi jika revisi perlu dilakukan. Ketergantungan
ini menjadi beban tersendiri bagi sekolah yang ingin mandiri secara teknis.
Ironisnya, di tengah ketergantungan tersebut, banyak siswa justru
menunjukkan minat tinggi terhadap perangkat lunak desain seperti Autocad.
Mereka ingin belajar, mengeksplorasi, bahkan menguasainya sebagai bekal masa
depan. Namun sayangnya, minat itu sering tidak ditindaklanjuti oleh program
pelatihan yang jelas dan terstruktur di sekolah. Pelajaran menggambar teknik
masih dilakukan secara konvensional, atau jika pun menggunakan komputer, tidak
terintegrasi dengan software industri yang sebenarnya digunakan di dunia kerja.
Lebih jauh lagi, sekolah sebenarnya telah memiliki sumber daya yang memadai
dalam bentuk laptop dengan spesifikasi yang cukup untuk menjalankan software
berat seperti Autocad. Namun, perangkat tersebut
belum dimanfaatkan optimal karena belum diinstal software yang dibutuhkan.
Akibatnya, potensi besar ini menjadi aset tidur yang belum memberi kontribusi
nyata pada proses pembelajaran siswa. Padahal, jika dimanfaatkan dengan baik,
laptop-laptop ini bisa menjadi laboratorium bergerak untuk pelatihan desain
teknik.
Melihat
kondisi tersebut, sebuah inisiatif sederhana namun berdampak besar muncul dari
lingkungan siswa sendiri. Salah satu siswa jurusan kelistrikan yang baru saja
menyelesaikan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di PT Fuji Automasi Indonesia,
Bogor, kembali ke sekolah dengan membawa bekal keterampilan baru: menggambar
teknik menggunakan Autocad. Berbekal pengalaman langsung di dunia industri,
siswa ini memiliki kemampuan yang mumpuni dan kepercayaan diri untuk berbagi
dengan teman-temannya. Ia kemudian
menawarkan diri untuk menjadi mentor bagi siswa lain yang tertarik belajar
Autocad.
Pihak
sekolah menyambut baik inisiatif ini. Langkah pertama yang dilakukan adalah
menginstal software Autocad pada laptop sekolah. Proses ini tentu tidak
dilakukan sembarangan. Tim teknologi informasi sekolah bekerja sama dengan guru
untuk memastikan semua perangkat siap digunakan. Instalasi ini menjadi titik
awal transformasi pembelajaran desain teknik di sekolah, karena kini tersedia
sarana belajar yang setara dengan standar industri.
Setelah perangkat siap, pelatihan pun dimulai. Siswa eks PKL yang bertindak
sebagai mentor menyusun modul pembelajaran sederhana dan menyampaikan materi
secara langsung kepada teman-temannya. Ia
membimbing mereka dari pengenalan dasar hingga teknik penggambaran instalasi
motor listrik. Suasana pelatihan berlangsung cair dan menyenangkan, karena
pengajar dan peserta berasal dari kalangan yang sama. Tidak ada sekat otoritas
yang kaku, yang ada justru semangat belajar bersama dan saling membantu.
Yang menarik, pelatihan ini tidak hanya diikuti oleh siswa, tetapi juga
oleh guru mata pelajaran Instalasi Motor Listrik (IML). Sang guru menyadari
bahwa dunia kerja terus berkembang, dan penguasaan perangkat lunak industri
menjadi keniscayaan. Dengan turut serta dalam pelatihan, guru menunjukkan
teladan bahwa belajar adalah proses seumur hidup. Kolaborasi antara siswa dan
guru menciptakan suasana belajar yang egaliter, di mana siapa pun bisa menjadi
sumber pengetahuan, dan siapa pun berhak untuk terus berkembang.
Dari pelatihan ini, dampak positif mulai terasa. Para
siswa yang semula belum mengenal Autocad kini mampu menggambar instalasi motor
listrik dengan presisi. Mereka tidak lagi bergantung pada jasa desain eksternal
ketika mengerjakan tugas atau proyek. Di sisi lain, guru juga memperoleh
keterampilan baru yang bisa langsung diintegrasikan dalam proses pembelajaran.
Secara umum, kompetensi warga sekolah dalam bidang desain teknik meningkat
secara signifikan.
Tidak
hanya itu, inisiatif ini juga mendorong optimalisasi penggunaan sumber daya
internal sekolah. Laptop yang
semula hanya digunakan untuk kebutuhan administrasi kini menjelma menjadi alat
belajar aktif. Investasi sekolah dalam pengadaan perangkat menjadi semakin
bermakna, karena benar-benar menunjang penguasaan keterampilan yang dibutuhkan
siswa. Selain itu, keberadaan siswa eks PKL sebagai mentor membuktikan bahwa
pengalaman industri bukan hanya memperkaya individu, tetapi juga bisa menjadi
aset kolektif jika dibagikan kepada komunitas sekolah.
Yang
paling penting, inisiatif ini menumbuhkan budaya berbagi ilmu di lingkungan
sekolah. Ketika satu siswa berbagi keterampilan dengan yang lain, tumbuhlah
rasa percaya diri dan kepedulian sosial. Para siswa mulai menyadari bahwa
mereka tidak harus menunggu guru atau pihak luar untuk belajar hal baru. Mereka bisa belajar dari sesama, saling mendukung, dan
bersama-sama tumbuh. Budaya ini menjadi fondasi kuat dalam menciptakan
lingkungan belajar yang kolaboratif dan dinamis.
Lebih jauh, kolaborasi semacam ini juga membantu membentuk karakter siswa.
Mereka belajar untuk tidak hanya mengejar nilai, tetapi juga memberi nilai bagi
orang lain. Mereka belajar menjadi pemimpin, fasilitator, dan pembelajar
sekaligus. Pengalaman ini sangat berharga, karena selain memperkuat
keterampilan teknis, juga mengembangkan soft skills seperti komunikasi, kerja
sama, dan empati—yang semuanya sangat dibutuhkan di dunia kerja.
Inisiatif pelatihan Autocad oleh siswa eks PKL adalah bukti bahwa perubahan
besar bisa dimulai dari langkah kecil. Ketika sekolah memberi ruang bagi
kreativitas dan inisiatif siswa, maka potensi luar biasa bisa muncul dari
tempat yang tak terduga. Siswa bukan lagi sekadar objek pembelajaran, tetapi
menjadi subjek yang aktif, kreatif, dan mampu memberi kontribusi nyata.
Sekolah sebagai institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk terus
memfasilitasi dan mendukung potensi-potensi semacam ini. Memberikan ruang bagi
siswa untuk berbagi, belajar, dan memimpin adalah bentuk nyata dari pendidikan
yang memerdekakan. Di tengah keterbatasan, justru kolaborasi dan keberdayaan
internal menjadi kunci untuk terus maju.
Dari siswa untuk siswa, dari pengalaman untuk masa depan—itulah semangat
yang kini tumbuh di sekolah ini. Ketika satu pengalaman PKL diubah menjadi
gerakan berbagi, maka seluruh komunitas sekolah ikut merasakan dampaknya.
Inilah wajah pendidikan vokasi yang sesungguhnya: dinamis, kolaboratif, dan
selalu terhubung dengan dunia nyata. Maka, mari terus dorong inisiatif seperti
ini agar semakin banyak siswa yang percaya, bahwa mereka bisa menjadi agen
perubahan—bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk sekolah dan masa
depan bersama.
Penulis : Joko Mulyono, S.Pd,
Guru Listrik SMK Muhammadiyah 2 Cepu