Skip to Content
Loading...
Nur Imamah
Nur Imamah
Online
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?

Inovasi Siswa SMK Muhammadiyah 2 Cepu Mengubah Sparepart Bekas Jadi Lampu Hias Bernilai Jual

 



 

Di tengah tantangan pendidikan abad ke-21, pembelajaran yang bersifat aplikatif menjadi semakin penting. Salah satu mata pelajaran yang mengedepankan praktik dan kreativitas adalah Prakarya dan Kewirausahaan (PKWU). Dalam pelajaran ini, siswa tidak hanya diajak memahami teori bisnis, tetapi juga dituntut untuk menghasilkan karya nyata yang memiliki nilai ekonomi. Di sinilah esensi pendidikan sejati muncul, yaitu ketika pengetahuan dan keterampilan berpadu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat secara langsung bagi siswa dan lingkungannya.

Namun, pelaksanaan pembelajaran PKWU tidak selalu mudah. Salah satu tantangan utama yang dihadapi adalah keterbatasan bahan dan modal. Banyak barang bekas yang melimpah di sekitar siswa, seperti sparepart motor yang sudah tidak terpakai, namun dianggap tidak memiliki nilai jual. Jika dibiarkan, barang-barang ini hanya akan menumpuk menjadi limbah yang mencemari lingkungan. Padahal, di tangan yang kreatif, barang rongsokan semacam itu bisa disulap menjadi produk fungsional dan menarik. Artikel ini ingin mengangkat kisah inspiratif tentang bagaimana siswa mampu mengubah sparepart bekas menjadi lampu hias unik yang bernilai tinggi. Ini bukan sekadar proyek sekolah, melainkan langkah awal menuju jiwa wirausaha yang tangguh.

Dalam pelajaran PKWU, siswa ditantang untuk menghasilkan produk kewirausahaan yang tidak hanya kreatif, tetapi juga layak jual. Tentu ini bukan perkara mudah, sebab banyak dari mereka yang tidak memiliki akses terhadap bahan baru atau peralatan canggih. Guru dituntut untuk memfasilitasi pembelajaran berbasis realitas sekitar, termasuk memanfaatkan barang-barang yang kerap dianggap tak bernilai. Di banyak wilayah, terutama daerah pinggiran kota atau pedesaan, sparepart motor bekas sangat mudah ditemukan. Barang-barang ini biasanya dibuang begitu saja oleh bengkel atau pemilik kendaraan yang mengganti onderdil lama. Pandangan umum menganggap bahwa sparepart usang tak lagi berguna. Bahkan beberapa hanya dijual sebagai besi tua dengan harga yang sangat rendah.

Padahal, jika ditelisik lebih jauh, sparepart bekas memiliki bentuk dan struktur yang unik. Ada cakram rem dengan pola melingkar yang estetis, gir motor dengan gigi-gigi tajam nan eksotis, hingga pelek kecil yang bisa dimodifikasi menjadi alas atau rangkaian produk. Tantangannya adalah bagaimana mengubah barang-barang ini menjadi sesuatu yang memiliki nilai tambah, baik dari sisi estetika maupun fungsionalitas. Di sinilah kreativitas siswa diuji. Dengan pendampingan guru, mereka diajak untuk melihat limbah sebagai peluang, bukan masalah.

Langkah awal dari inovasi ini adalah mengumpulkan sparepart motor bekas dari lingkungan sekitar. Beberapa siswa mengunjungi bengkel-bengkel terdekat untuk meminta onderdil bekas yang sudah tidak digunakan. Setelah terkumpul, mereka melakukan proses sortir: memisahkan barang yang masih bisa dipakai, membersihkan karat, dan menyiapkan material untuk dirakit. Proses ini sendiri sudah menjadi bagian dari pembelajaran teknik, karena siswa belajar mengenali jenis logam, cara merawat bahan bekas, dan teknik dasar pembersihan.

Setelah bahan siap, mereka mulai merancang produk utama mereka: lampu hias. Lampu dipilih karena fungsional, bisa digunakan di rumah, dan punya daya tarik visual tinggi. Desain dilakukan secara kelompok. Ada yang memilih gaya industrial dengan mempertahankan warna logam aslinya, ada pula yang mengecat ulang agar lebih cerah dan menarik. Proses perakitan melibatkan keterampilan teknik, seperti pengeboran, pengelasan ringan, hingga instalasi kabel dan fitting lampu. Tak hanya berhenti di aspek teknik, proses finishing juga ditekankan, termasuk pengecatan akhir, pelapisan anti karat, dan pengecekan keamanan aliran listrik. Di sinilah seni dan teknik berpadu dalam satu produk.

Setelah produk jadi, tantangan berikutnya adalah pemasaran. Siswa diajak untuk menjual produk mereka di lingkungan sekolah, seperti saat bazar karya siswa atau pameran PKWU. Beberapa bahkan membawa produk mereka ke rumah dan menjualnya di kampung masing-masing, memperkenalkan hasil karya kepada tetangga dan keluarga. Tak ketinggalan, media sosial juga dimanfaatkan sebagai alat promosi. Mereka membuat foto produk yang menarik, menulis deskripsi singkat, dan mempostingnya di Instagram atau grup WhatsApp keluarga. Respons yang diterima cukup menggembirakan. Banyak yang tertarik membeli, bukan hanya karena produk itu unik, tetapi karena tahu bahwa hasilnya adalah karya tangan siswa sendiri.

Dari kegiatan ini, siswa tidak hanya belajar keterampilan teknis, tetapi juga mengalami langsung proses kewirausahaan: dari ide, produksi, promosi, hingga penjualan. Pendapatan yang mereka peroleh digunakan secara produktif. Ada yang membeli alat tangan seperti bor mini atau kunci pas sebagai modal membuka bengkel kecil di rumah. Ada juga yang menyisihkan hasilnya untuk membeli bahan baru dan memperluas jenis produk. Semangat berwirausaha pun mulai tumbuh. Mereka merasakan bahwa kreativitas dan kerja keras bisa menghasilkan uang. Pelajaran ini jauh lebih membekas dibandingkan sekadar mendengarkan teori kewirausahaan di dalam kelas.

Lebih dari itu, keberhasilan membuat lampu hias dari sparepart motor bekas menjadi bukti nyata bahwa pembelajaran bisa berdampak langsung pada kehidupan siswa. PKWU bukan lagi sekadar mata pelajaran formal, tetapi menjadi ruang aktualisasi diri. Siswa yang semula pasif berubah menjadi aktif. Mereka yang awalnya minder karena keterbatasan ekonomi, kini percaya diri karena mampu menghasilkan produk bernilai. Bahkan, dalam beberapa kasus, siswa yang berhasil dalam proyek ini menjadi inspirator bagi teman-temannya yang lain. Mereka mulai berbagi ide, menunjukkan hasil karya mereka, dan saling mendukung untuk terus berkarya.

Melalui kisah ini, kita belajar bahwa kreativitas bisa muncul dari keterbatasan. Barang bekas yang dianggap tak berguna, bisa menjadi karya seni yang bernilai ekonomi jika dikelola dengan cerdas dan semangat. Peran guru sebagai fasilitator sangat krusial, tidak hanya dalam memberi arahan teknis, tetapi juga membangun mental wirausaha dalam diri siswa. Pendidikan menjadi bermakna ketika siswa tidak hanya diajari "apa", tetapi juga "bagaimana" dan "untuk apa".

Program PKWU di sekolah bisa menjadi titik awal lahirnya para wirausahawan muda yang mandiri dan inovatif. Apalagi jika didukung dengan kebijakan sekolah yang memberi ruang bagi siswa untuk berkarya, serta masyarakat yang menghargai produk hasil karya anak-anak muda. Kolaborasi semacam ini akan memperkuat ekosistem kewirausahaan di kalangan pelajar.

Akhir kata, semoga kisah sukses kreasi lampu hias dari sparepart bekas ini menjadi inspirasi bagi banyak siswa di seluruh Indonesia. Jangan takut bermimpi dan berkreasi, karena dari tangan-tangan sederhana bisa lahir cahaya yang menerangi masa depan. Barang bekas bukan akhir dari segalanya. Di tangan yang tepat, ia bisa menjadi awal dari sebuah perjalanan baru: menjadi wirausahawan muda yang kreatif dan berdaya.

Penulis : Joko Mulyono, S.Pd,  Guru Listrik SMK Muhammadiyah 2 Cepu

Share

Related Posts

Post a Comment

Confirmation of Closure

Are you sure you want to close this video playback?