- Posted by : Joko Mulyono
- on : August 15, 2025
Di
tengah tantangan pendidikan abad ke-21, pembelajaran yang bersifat aplikatif
menjadi semakin penting. Salah
satu mata pelajaran yang mengedepankan praktik dan kreativitas adalah Prakarya
dan Kewirausahaan (PKWU). Dalam pelajaran ini, siswa tidak hanya diajak
memahami teori bisnis, tetapi juga dituntut untuk menghasilkan karya nyata yang
memiliki nilai ekonomi. Di sinilah esensi pendidikan sejati muncul, yaitu ketika
pengetahuan dan keterampilan berpadu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat
secara langsung bagi siswa dan lingkungannya.
Namun, pelaksanaan pembelajaran PKWU tidak selalu mudah. Salah satu
tantangan utama yang dihadapi adalah keterbatasan bahan dan modal. Banyak
barang bekas yang melimpah di sekitar siswa, seperti sparepart motor yang sudah
tidak terpakai, namun dianggap tidak memiliki nilai jual. Jika dibiarkan,
barang-barang ini hanya akan menumpuk menjadi limbah yang mencemari lingkungan.
Padahal, di tangan yang kreatif, barang rongsokan semacam itu bisa disulap
menjadi produk fungsional dan menarik. Artikel ini ingin mengangkat kisah
inspiratif tentang bagaimana siswa mampu mengubah sparepart bekas menjadi lampu
hias unik yang bernilai tinggi. Ini bukan sekadar proyek sekolah, melainkan
langkah awal menuju jiwa wirausaha yang tangguh.
Dalam pelajaran PKWU, siswa ditantang untuk menghasilkan produk
kewirausahaan yang tidak hanya kreatif, tetapi juga layak jual. Tentu ini bukan
perkara mudah, sebab banyak dari mereka yang tidak memiliki akses terhadap
bahan baru atau peralatan canggih. Guru dituntut untuk memfasilitasi
pembelajaran berbasis realitas sekitar, termasuk memanfaatkan barang-barang
yang kerap dianggap tak bernilai. Di banyak wilayah, terutama daerah pinggiran
kota atau pedesaan, sparepart motor bekas sangat mudah ditemukan. Barang-barang
ini biasanya dibuang begitu saja oleh bengkel atau pemilik kendaraan yang
mengganti onderdil lama. Pandangan umum menganggap bahwa sparepart usang tak
lagi berguna. Bahkan beberapa hanya dijual sebagai besi tua dengan harga yang
sangat rendah.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh, sparepart bekas memiliki bentuk dan
struktur yang unik. Ada cakram rem dengan pola melingkar yang estetis, gir
motor dengan gigi-gigi tajam nan eksotis, hingga pelek kecil yang bisa
dimodifikasi menjadi alas atau rangkaian produk. Tantangannya adalah bagaimana
mengubah barang-barang ini menjadi sesuatu yang memiliki nilai tambah, baik
dari sisi estetika maupun fungsionalitas. Di sinilah kreativitas siswa diuji.
Dengan pendampingan guru, mereka diajak untuk melihat limbah sebagai peluang,
bukan masalah.
Langkah awal dari inovasi ini adalah mengumpulkan sparepart motor bekas
dari lingkungan sekitar. Beberapa siswa mengunjungi bengkel-bengkel terdekat
untuk meminta onderdil bekas yang sudah tidak digunakan. Setelah terkumpul,
mereka melakukan proses sortir: memisahkan barang yang masih bisa dipakai,
membersihkan karat, dan menyiapkan material untuk dirakit. Proses ini sendiri
sudah menjadi bagian dari pembelajaran teknik, karena siswa belajar mengenali
jenis logam, cara merawat bahan bekas, dan teknik dasar pembersihan.
Setelah bahan siap, mereka mulai merancang produk utama mereka: lampu hias.
Lampu dipilih karena fungsional, bisa digunakan di rumah, dan punya daya tarik
visual tinggi. Desain dilakukan secara kelompok. Ada yang memilih gaya
industrial dengan mempertahankan warna logam aslinya, ada pula yang mengecat
ulang agar lebih cerah dan menarik. Proses perakitan melibatkan keterampilan teknik,
seperti pengeboran, pengelasan ringan, hingga instalasi kabel dan fitting
lampu. Tak hanya berhenti di aspek teknik, proses finishing juga ditekankan,
termasuk pengecatan akhir, pelapisan anti karat, dan pengecekan keamanan aliran
listrik. Di sinilah seni dan teknik berpadu dalam satu produk.
Setelah produk jadi, tantangan berikutnya adalah pemasaran. Siswa diajak
untuk menjual produk mereka di lingkungan sekolah, seperti saat bazar karya
siswa atau pameran PKWU. Beberapa bahkan membawa produk mereka ke rumah dan
menjualnya di kampung masing-masing, memperkenalkan hasil karya kepada tetangga
dan keluarga. Tak ketinggalan, media sosial juga dimanfaatkan sebagai alat
promosi. Mereka membuat foto produk yang menarik, menulis deskripsi singkat,
dan mempostingnya di Instagram atau grup WhatsApp keluarga. Respons yang
diterima cukup menggembirakan. Banyak yang tertarik membeli, bukan hanya karena
produk itu unik, tetapi karena tahu bahwa hasilnya adalah karya tangan siswa
sendiri.
Dari kegiatan ini, siswa tidak hanya belajar keterampilan teknis, tetapi
juga mengalami langsung proses kewirausahaan: dari ide, produksi, promosi,
hingga penjualan. Pendapatan yang mereka peroleh digunakan secara produktif.
Ada yang membeli alat tangan seperti bor mini atau kunci pas sebagai modal
membuka bengkel kecil di rumah. Ada juga yang menyisihkan hasilnya untuk
membeli bahan baru dan memperluas jenis produk. Semangat berwirausaha pun mulai
tumbuh. Mereka merasakan bahwa kreativitas dan kerja keras bisa menghasilkan
uang. Pelajaran ini jauh lebih membekas dibandingkan sekadar mendengarkan teori
kewirausahaan di dalam kelas.
Lebih dari itu, keberhasilan membuat lampu hias dari sparepart motor bekas
menjadi bukti nyata bahwa pembelajaran bisa berdampak langsung pada kehidupan siswa.
PKWU bukan lagi sekadar mata pelajaran formal, tetapi menjadi ruang aktualisasi
diri. Siswa yang semula pasif berubah menjadi aktif. Mereka yang awalnya minder
karena keterbatasan ekonomi, kini percaya diri karena mampu menghasilkan produk
bernilai. Bahkan, dalam beberapa kasus, siswa yang berhasil dalam proyek ini
menjadi inspirator bagi teman-temannya yang lain. Mereka mulai berbagi ide,
menunjukkan hasil karya mereka, dan saling mendukung untuk terus berkarya.
Melalui kisah ini, kita belajar bahwa kreativitas bisa muncul dari
keterbatasan. Barang bekas yang dianggap tak berguna, bisa menjadi karya seni
yang bernilai ekonomi jika dikelola dengan cerdas dan semangat. Peran guru
sebagai fasilitator sangat krusial, tidak hanya dalam memberi arahan teknis,
tetapi juga membangun mental wirausaha dalam diri siswa. Pendidikan menjadi
bermakna ketika siswa tidak hanya diajari "apa", tetapi juga
"bagaimana" dan "untuk apa".
Program PKWU di sekolah bisa menjadi titik awal lahirnya para wirausahawan
muda yang mandiri dan inovatif. Apalagi jika didukung dengan kebijakan sekolah
yang memberi ruang bagi siswa untuk berkarya, serta masyarakat yang menghargai
produk hasil karya anak-anak muda. Kolaborasi semacam ini akan memperkuat
ekosistem kewirausahaan di kalangan pelajar.
Akhir kata, semoga kisah sukses kreasi lampu hias dari sparepart bekas ini
menjadi inspirasi bagi banyak siswa di seluruh Indonesia. Jangan takut bermimpi
dan berkreasi, karena dari tangan-tangan sederhana bisa lahir cahaya yang
menerangi masa depan. Barang bekas bukan akhir dari segalanya. Di tangan yang
tepat, ia bisa menjadi awal dari sebuah perjalanan baru: menjadi wirausahawan
muda yang kreatif dan berdaya.
Penulis : Joko Mulyono, S.Pd,
Guru Listrik SMK Muhammadiyah 2 Cepu