- Posted by : Joko Mulyono
- on : September 15, 2025
Sekolah merupakan tempat tumbuhnya ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu,
sekolah juga adalah ruang subur bagi nilai-nilai kemanusiaan dan pembentukan
karakter. Dalam era yang penuh tantangan moral dan sosial, pendidikan karakter
menjadi lebih penting dari sebelumnya. Salah satu nilai yang sangat perlu
ditanamkan sejak dini adalah empati—kemampuan untuk merasakan dan memahami
penderitaan orang lain. Namun, dalam praktiknya, menumbuhkan empati bukanlah
pekerjaan mudah. Ia memerlukan pengalaman nyata, peristiwa yang menggerakkan
hati, dan ruang aksi yang memungkinkan siswa terlibat langsung dalam kehidupan
sosial di sekitarnya.
Di tengah idealisme itu, muncul tantangan yang tak kalah nyata:
keterbatasan dana sekolah. Banyak sekolah, terutama yang berbasis masyarakat
dan memiliki sumber daya terbatas, tidak memiliki anggaran khusus untuk
membantu warganya yang tertimpa musibah seperti kematian, kebakaran, atau
kecelakaan. Di sisi lain, kebutuhan untuk memberikan bantuan kepada siswa,
guru, atau tenaga kependidikan yang mengalami kesulitan sangat mendesak. Mereka
bukan hanya membutuhkan dukungan material, tetapi lebih penting lagi adalah
sentuhan moral dan perhatian dari lingkungan terdekatnya: sekolah.
Peran sekolah tidak lagi cukup jika hanya terbatas pada pengajaran akademik
semata. Sekolah harus menjadi institusi yang juga membentuk kepribadian siswa,
menanamkan nilai-nilai sosial, dan mengajarkan makna menjadi manusia seutuhnya.
Di sinilah pentingnya menghadirkan program atau gerakan yang konkret untuk
menumbuhkan empati dan kepedulian sosial dalam diri peserta didik. Salah satu
inisiatif yang lahir dari kesadaran ini adalah "Gerakan Uang Duka,"
sebuah gerakan sederhana namun penuh makna yang muncul dari semangat gotong
royong warga sekolah.
Permasalahan utama yang menjadi latar belakang gerakan ini adalah tidak
adanya pos anggaran khusus dalam struktur keuangan sekolah untuk memberikan
bantuan duka. Setiap kali ada musibah yang menimpa warga sekolah, baik siswa
maupun guru, pihak sekolah sering kali kebingungan mencari sumber dana. Padahal
dalam situasi duka, kehadiran sekolah sebagai pihak yang peduli sangat
dinantikan. Tidak jarang, keterlambatan sekolah dalam merespons musibah
menimbulkan kesan bahwa lembaga ini kurang peduli terhadap warganya.
Sementara itu, dari sisi pendidikan karakter, kegiatan nyata yang
menumbuhkan empati di kalangan siswa juga masih sangat terbatas. Pendidikan
karakter masih sering berhenti di tataran retorika atau teori dalam kelas.
Padahal, empati tidak bisa diajarkan hanya lewat ceramah atau teks dalam buku
ajar. Ia tumbuh ketika siswa melihat, merasakan, dan terlibat langsung dalam
kehidupan orang lain yang sedang kesulitan. Mereka perlu ruang untuk
menyumbangkan sedikit rejeki, mengulurkan tangan, dan menyampaikan doa dengan
tulus kepada yang sedang berduka.
Kebutuhan akan dukungan moral dan material ini tidak bisa diabaikan. Ketika
ada siswa yang kehilangan orang tua, atau guru yang ditimpa musibah berat,
dukungan dari komunitas sekolah bisa menjadi kekuatan besar untuk bangkit
kembali. Dalam kondisi seperti itu, selembar amplop kecil dari sekolah bisa
terasa sangat besar nilainya. Ia bukan hanya sekadar uang, tetapi simbol cinta,
solidaritas, dan pengakuan atas penderitaan yang sedang dialami.
Melihat berbagai kebutuhan dan kendala tersebut, sekolah perlu mengambil
langkah konkret. Salah satu strategi yang terbukti efektif adalah mobilisasi
komunitas siswa. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah misalnya, organisasi Ikatan
Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Hizbul Wathan memiliki peran strategis. Mereka
tidak hanya menjadi pelaksana kegiatan ekstrakurikuler, tetapi juga dapat
diberdayakan sebagai agen sosial yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan kepedulian.
Dalam pelaksanaan gerakan uang duka, para pengurus IPM dan HW turun langsung ke
setiap kelas untuk menggalang dana sukarela. Tidak ada paksaan. Setiap siswa
diminta menyumbang seikhlasnya, sesuai kemampuan masing-masing.
Setelah dana terkumpul, langkah berikutnya adalah memastikan transparansi
dan akuntabilitas. Dana kemudian diserahkan kepada bagian Kehumasan,
Kerohanian, atau Dakwah sekolah untuk dikelola dan disalurkan. Pengumuman hasil
pengumpulan dilakukan secara terbuka melalui media informasi sekolah seperti
mading, grup WhatsApp resmi, atau saat upacara bendera. Dengan
cara ini, siswa belajar pentingnya kejujuran dan tanggung jawab dalam mengelola
dana publik.
Penyaluran bantuan kepada
pihak yang berhak juga dilakukan dengan cara yang menjunjung nilai-nilai
empati. Biasanya, dana diserahkan secara langsung kepada keluarga yang berduka
oleh perwakilan guru dan siswa. Momen
ini menjadi sangat bermakna karena menghadirkan wajah kemanusiaan sekolah
secara utuh. Siswa melihat bahwa guru-guru mereka tidak hanya tegas dalam
mendisiplinkan, tetapi juga lembut dan hadir saat warganya berduka. Begitu pun
siswa yang menerima bantuan merasa dihargai dan dikuatkan oleh komunitasnya.
Dampak dari gerakan ini sangat positif. Secara karakter, siswa belajar menjadi
pribadi yang peka terhadap penderitaan orang lain. Mereka tidak hanya
berempati, tetapi juga belajar mengorganisasi kegiatan sosial dengan tertib.
Sikap gotong royong, kepedulian, dan kesadaran sosial tumbuh secara alami dalam
diri mereka. Dalam jangka panjang, pengalaman ini akan membentuk pribadi yang
tidak apatis dan tidak egois terhadap sesama.
Dari sisi institusi, citra sekolah pun meningkat di mata masyarakat. Ketika
sekolah dikenal sebagai lembaga yang peduli terhadap warganya, kepercayaan
publik pun tumbuh. Orang tua merasa bahwa anak-anak mereka tidak hanya dididik
untuk lulus ujian, tetapi juga untuk menjadi manusia yang memiliki hati dan
rasa. Guru dan tenaga kependidikan merasa dihargai sebagai bagian dari keluarga
besar yang saling menopang. Bahkan, alumni pun bisa tergerak untuk kembali
memberi dukungan ketika melihat nilai-nilai sosial tetap hidup di sekolahnya
dahulu.
Gerakan uang duka adalah bukti bahwa pendidikan karakter tidak harus rumit.
Ia bisa dimulai dari hal kecil, dari peristiwa yang dekat, dan dari tindakan
yang sederhana. Yang dibutuhkan hanyalah niat baik, kemauan untuk bergerak, dan
sistem yang memfasilitasi partisipasi seluruh elemen sekolah. Tidak perlu
menunggu peraturan resmi atau anggaran khusus. Cukup dengan semangat gotong
royong, program ini bisa berjalan dan terus tumbuh.
Agar gerakan ini
berkelanjutan, sekolah perlu merancangnya sebagai program rutin dan
terstruktur. Misalnya, dengan membentuk tim peduli duka yang terdiri dari
siswa, guru, dan pengurus OSIS atau IPM. Tim ini bertugas memantau kabar duka
atau musibah di lingkungan sekolah, mengkoordinasikan penggalangan dana, serta
memastikan proses penyaluran berjalan adil dan transparan. Dokumentasi kegiatan juga penting, agar menjadi bahan
refleksi dan pembelajaran di masa depan.
Pendidikan karakter yang kuat hanya bisa tumbuh di sekolah yang memiliki
budaya kepedulian. Gerakan uang duka menjadi contoh nyata bagaimana pendidikan
dan kemanusiaan bisa berjalan seiring. Sekolah bukan hanya tempat mencetak
nilai, tetapi juga tempat menumbuhkan nilai-nilai. Karena itu, mari kita dorong
lebih banyak sekolah untuk mengambil inisiatif serupa. Di balik setiap amplop
kecil yang diserahkan dengan tulus, tersimpan harapan besar akan lahirnya
generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga berhati besar.
Penulis : Joko Mulyono, S.Pd, Guru SMK
Muhammadiyah 2 Cepu