Skip to Content
Loading...
Nur Imamah
Nur Imamah
Online
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?

Gerakan Uang Duka Guna Menumbuhkan Empati dan Menguatkan Pendidikan Karakter di Sekolah

 



 

Sekolah merupakan tempat tumbuhnya ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu, sekolah juga adalah ruang subur bagi nilai-nilai kemanusiaan dan pembentukan karakter. Dalam era yang penuh tantangan moral dan sosial, pendidikan karakter menjadi lebih penting dari sebelumnya. Salah satu nilai yang sangat perlu ditanamkan sejak dini adalah empati—kemampuan untuk merasakan dan memahami penderitaan orang lain. Namun, dalam praktiknya, menumbuhkan empati bukanlah pekerjaan mudah. Ia memerlukan pengalaman nyata, peristiwa yang menggerakkan hati, dan ruang aksi yang memungkinkan siswa terlibat langsung dalam kehidupan sosial di sekitarnya.

Di tengah idealisme itu, muncul tantangan yang tak kalah nyata: keterbatasan dana sekolah. Banyak sekolah, terutama yang berbasis masyarakat dan memiliki sumber daya terbatas, tidak memiliki anggaran khusus untuk membantu warganya yang tertimpa musibah seperti kematian, kebakaran, atau kecelakaan. Di sisi lain, kebutuhan untuk memberikan bantuan kepada siswa, guru, atau tenaga kependidikan yang mengalami kesulitan sangat mendesak. Mereka bukan hanya membutuhkan dukungan material, tetapi lebih penting lagi adalah sentuhan moral dan perhatian dari lingkungan terdekatnya: sekolah.

Peran sekolah tidak lagi cukup jika hanya terbatas pada pengajaran akademik semata. Sekolah harus menjadi institusi yang juga membentuk kepribadian siswa, menanamkan nilai-nilai sosial, dan mengajarkan makna menjadi manusia seutuhnya. Di sinilah pentingnya menghadirkan program atau gerakan yang konkret untuk menumbuhkan empati dan kepedulian sosial dalam diri peserta didik. Salah satu inisiatif yang lahir dari kesadaran ini adalah "Gerakan Uang Duka," sebuah gerakan sederhana namun penuh makna yang muncul dari semangat gotong royong warga sekolah.

Permasalahan utama yang menjadi latar belakang gerakan ini adalah tidak adanya pos anggaran khusus dalam struktur keuangan sekolah untuk memberikan bantuan duka. Setiap kali ada musibah yang menimpa warga sekolah, baik siswa maupun guru, pihak sekolah sering kali kebingungan mencari sumber dana. Padahal dalam situasi duka, kehadiran sekolah sebagai pihak yang peduli sangat dinantikan. Tidak jarang, keterlambatan sekolah dalam merespons musibah menimbulkan kesan bahwa lembaga ini kurang peduli terhadap warganya.

Sementara itu, dari sisi pendidikan karakter, kegiatan nyata yang menumbuhkan empati di kalangan siswa juga masih sangat terbatas. Pendidikan karakter masih sering berhenti di tataran retorika atau teori dalam kelas. Padahal, empati tidak bisa diajarkan hanya lewat ceramah atau teks dalam buku ajar. Ia tumbuh ketika siswa melihat, merasakan, dan terlibat langsung dalam kehidupan orang lain yang sedang kesulitan. Mereka perlu ruang untuk menyumbangkan sedikit rejeki, mengulurkan tangan, dan menyampaikan doa dengan tulus kepada yang sedang berduka.

Kebutuhan akan dukungan moral dan material ini tidak bisa diabaikan. Ketika ada siswa yang kehilangan orang tua, atau guru yang ditimpa musibah berat, dukungan dari komunitas sekolah bisa menjadi kekuatan besar untuk bangkit kembali. Dalam kondisi seperti itu, selembar amplop kecil dari sekolah bisa terasa sangat besar nilainya. Ia bukan hanya sekadar uang, tetapi simbol cinta, solidaritas, dan pengakuan atas penderitaan yang sedang dialami.

Melihat berbagai kebutuhan dan kendala tersebut, sekolah perlu mengambil langkah konkret. Salah satu strategi yang terbukti efektif adalah mobilisasi komunitas siswa. Di sekolah-sekolah Muhammadiyah misalnya, organisasi Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dan Hizbul Wathan memiliki peran strategis. Mereka tidak hanya menjadi pelaksana kegiatan ekstrakurikuler, tetapi juga dapat diberdayakan sebagai agen sosial yang mendorong lahirnya gerakan-gerakan kepedulian. Dalam pelaksanaan gerakan uang duka, para pengurus IPM dan HW turun langsung ke setiap kelas untuk menggalang dana sukarela. Tidak ada paksaan. Setiap siswa diminta menyumbang seikhlasnya, sesuai kemampuan masing-masing.

Setelah dana terkumpul, langkah berikutnya adalah memastikan transparansi dan akuntabilitas. Dana kemudian diserahkan kepada bagian Kehumasan, Kerohanian, atau Dakwah sekolah untuk dikelola dan disalurkan. Pengumuman hasil pengumpulan dilakukan secara terbuka melalui media informasi sekolah seperti mading, grup WhatsApp resmi, atau saat upacara bendera. Dengan cara ini, siswa belajar pentingnya kejujuran dan tanggung jawab dalam mengelola dana publik.

Penyaluran bantuan kepada pihak yang berhak juga dilakukan dengan cara yang menjunjung nilai-nilai empati. Biasanya, dana diserahkan secara langsung kepada keluarga yang berduka oleh perwakilan guru dan siswa. Momen ini menjadi sangat bermakna karena menghadirkan wajah kemanusiaan sekolah secara utuh. Siswa melihat bahwa guru-guru mereka tidak hanya tegas dalam mendisiplinkan, tetapi juga lembut dan hadir saat warganya berduka. Begitu pun siswa yang menerima bantuan merasa dihargai dan dikuatkan oleh komunitasnya.

Dampak dari gerakan ini sangat positif. Secara karakter, siswa belajar menjadi pribadi yang peka terhadap penderitaan orang lain. Mereka tidak hanya berempati, tetapi juga belajar mengorganisasi kegiatan sosial dengan tertib. Sikap gotong royong, kepedulian, dan kesadaran sosial tumbuh secara alami dalam diri mereka. Dalam jangka panjang, pengalaman ini akan membentuk pribadi yang tidak apatis dan tidak egois terhadap sesama.

Dari sisi institusi, citra sekolah pun meningkat di mata masyarakat. Ketika sekolah dikenal sebagai lembaga yang peduli terhadap warganya, kepercayaan publik pun tumbuh. Orang tua merasa bahwa anak-anak mereka tidak hanya dididik untuk lulus ujian, tetapi juga untuk menjadi manusia yang memiliki hati dan rasa. Guru dan tenaga kependidikan merasa dihargai sebagai bagian dari keluarga besar yang saling menopang. Bahkan, alumni pun bisa tergerak untuk kembali memberi dukungan ketika melihat nilai-nilai sosial tetap hidup di sekolahnya dahulu.

Gerakan uang duka adalah bukti bahwa pendidikan karakter tidak harus rumit. Ia bisa dimulai dari hal kecil, dari peristiwa yang dekat, dan dari tindakan yang sederhana. Yang dibutuhkan hanyalah niat baik, kemauan untuk bergerak, dan sistem yang memfasilitasi partisipasi seluruh elemen sekolah. Tidak perlu menunggu peraturan resmi atau anggaran khusus. Cukup dengan semangat gotong royong, program ini bisa berjalan dan terus tumbuh.

Agar gerakan ini berkelanjutan, sekolah perlu merancangnya sebagai program rutin dan terstruktur. Misalnya, dengan membentuk tim peduli duka yang terdiri dari siswa, guru, dan pengurus OSIS atau IPM. Tim ini bertugas memantau kabar duka atau musibah di lingkungan sekolah, mengkoordinasikan penggalangan dana, serta memastikan proses penyaluran berjalan adil dan transparan. Dokumentasi kegiatan juga penting, agar menjadi bahan refleksi dan pembelajaran di masa depan.

Pendidikan karakter yang kuat hanya bisa tumbuh di sekolah yang memiliki budaya kepedulian. Gerakan uang duka menjadi contoh nyata bagaimana pendidikan dan kemanusiaan bisa berjalan seiring. Sekolah bukan hanya tempat mencetak nilai, tetapi juga tempat menumbuhkan nilai-nilai. Karena itu, mari kita dorong lebih banyak sekolah untuk mengambil inisiatif serupa. Di balik setiap amplop kecil yang diserahkan dengan tulus, tersimpan harapan besar akan lahirnya generasi yang tidak hanya pintar, tetapi juga berhati besar.

Penulis : Joko Mulyono, S.Pd,  Guru SMK Muhammadiyah 2 Cepu

Share

Related Posts

Post a Comment

Confirmation of Closure

Are you sure you want to close this video playback?