- Posted by : Joko Mulyono
- on : September 22, 2025
Lingkungan
belajar yang bersih, tertib, dan aman bukanlah sekadar pelengkap, melainkan
fondasi penting dalam proses pembelajaran yang efektif. Suasana yang nyaman
akan membangkitkan semangat belajar, menumbuhkan rasa tanggung jawab, dan
meningkatkan produktivitas baik bagi siswa maupun guru. Di sekolah kejuruan,
khususnya pada program keahlian teknik listrik, keberadaan ruang praktik atau
bengkel menjadi pusat aktivitas pembelajaran yang sangat vital. Namun, ruang
yang semestinya mendukung keterampilan siswa ini tak jarang berubah menjadi
tempat yang semrawut jika tidak dikelola dengan baik. Sampah berserakan, alat
praktik hilang atau tercecer, serta presensi kelas yang tidak efisien, menjadi
tantangan nyata yang harus segera diatasi.
Setelah
kegiatan belajar mengajar (KBM) berakhir, sering kali ruang kelas dan bengkel
praktik ditinggalkan dalam kondisi berantakan. Sisa kabel, plastik pembungkus komponen, dan serpihan
bahan praktik tertinggal di lantai. Tidak sedikit siswa yang merasa bahwa
urusan kebersihan adalah tanggung jawab petugas kebersihan sekolah, bukan
bagian dari tugas mereka. Padahal, pendidikan sejati bukan hanya soal menguasai
teori atau keterampilan teknis, tetapi juga menyangkut pembentukan karakter.
Menjaga kebersihan lingkungan belajar dan merawat fasilitas sekolah adalah
bentuk nyata dari pendidikan karakter yang mendidik siswa menjadi pribadi
bertanggung jawab dan peduli terhadap lingkungannya.
Masalah lain yang sering dihadapi adalah alat dan komponen praktik yang
tertinggal atau bahkan hilang setelah sesi praktik berlangsung.
Ketidakteraturan dalam proses peminjaman dan pengembalian alat sering menjadi
penyebab utama. Ada siswa yang lupa mengembalikan, ada yang tidak tahu tempat
penyimpanan, bahkan ada kemungkinan alat berpindah tangan tanpa sepengetahuan
teknisi atau guru. Akibatnya, fasilitas praktik menjadi tidak utuh, kegiatan
belajar terganggu, dan biaya penggantian alat menjadi beban tambahan bagi
sekolah.
Presensi kelas pun menjadi kendala tersendiri. Sistem presensi yang masih
disimpan di ruang guru membutuhkan siswa khusus untuk mengambil dan
mengembalikannya setiap hari. Ketika tidak ada siswa yang bertugas, guru harus
turun tangan sendiri, mengorbankan waktu pembelajaran di awal atau akhir jam
pelajaran. Selain tidak efisien, sistem ini juga menunjukkan kurangnya struktur
kerja sama dan partisipasi siswa dalam mendukung jalannya kegiatan pembelajaran
secara administratif.
Menjawab berbagai tantangan tersebut, dibutuhkan strategi yang sederhana
namun mampu membangun kebiasaan positif di kalangan siswa. Salah satu solusi
yang telah terbukti efektif adalah penerapan jadwal piket harian yang disusun
secara sistematis. Dalam sistem ini, setiap hari ditugaskan lima siswa secara
bergiliran untuk melaksanakan tugas-tugas yang mendukung kebersihan,
ketertiban, dan kelancaran kegiatan belajar. Jadwal disusun bersama antara wali
kelas dan siswa, dengan mempertimbangkan keadilan pembagian tugas serta
fleksibilitas kebutuhan kegiatan praktik.
Dalam pembagian tugas piket, peran siswa dirancang agar seimbang antara
tanggung jawab dan pembelajaran. Satu siswa bertugas mengambil dan
mengembalikan presensi kelas dari ruang guru. Dua siswa lainnya ditugaskan
membantu teknisi bengkel dalam proses peminjaman dan pengembalian alat praktik.
Mereka memastikan bahwa setiap alat yang keluar tercatat dan kembali dengan
kondisi baik. Sementara dua siswa lainnya fokus pada menjaga kebersihan ruang
praktik dan kelas, termasuk menyapu, membuang sampah, dan merapikan meja. Jika
pada hari tersebut tidak ada kegiatan praktik, maka empat siswa difokuskan
untuk menjaga kebersihan kelas secara maksimal.
Kegiatan ini tidak berhenti pada pelaksanaan tugas, tetapi dilengkapi
dengan sistem pelaporan dan evaluasi. Setiap kelompok piket diwajibkan
melaporkan hasil tugas mereka di grup kelas yang juga diikuti oleh wali kelas.
Laporan ini bisa berupa teks singkat, dokumentasi foto, atau video singkat
sebagai bukti pelaksanaan. Bila terdapat siswa yang tidak menjalankan tugasnya,
maka wali kelas berhak memberikan sanksi sesuai kesepakatan bersama kelas.
Sanksi ini bukan dalam bentuk hukuman fisik, tetapi lebih diarahkan pada bentuk
tanggung jawab sosial, seperti tugas tambahan atau laporan refleksi.
Hasil dari penerapan sistem ini sangat menggembirakan. Ruang kelas dan
bengkel praktik teknik listrik tetap terjaga kebersihannya. Lingkungan
belajar yang rapi menciptakan suasana yang menyenangkan dan produktif. Sampah
tidak lagi menjadi pemandangan umum, dan kebiasaan membuang sampah pada
tempatnya mulai terbentuk secara alami dalam diri siswa. Hal ini menunjukkan
bahwa kebersihan adalah hasil dari pembiasaan, bukan sekadar imbauan.
Dari sisi keamanan alat, kegiatan praktik menjadi lebih tertib. Proses
peminjaman dan pengembalian alat yang dibantu oleh siswa menjadikan mereka
lebih memahami pentingnya perawatan fasilitas. Kesadaran kolektif terhadap
pentingnya menjaga alat semakin kuat, karena mereka merasa ikut bertanggung
jawab dalam keberlangsungan kegiatan praktik. Tidak ada lagi alat yang hilang
tanpa jejak, dan ketika ada alat yang rusak, laporan segera dibuat agar dapat
ditindaklanjuti.
Namun
yang paling penting adalah dampak terhadap pembentukan karakter siswa. Melalui
keterlibatan dalam piket harian, siswa belajar banyak hal: disiplin datang
tepat waktu, tanggung jawab terhadap tugas, kejujuran dalam pelaporan, serta
kepedulian terhadap kebersihan dan kenyamanan bersama. Mereka tidak lagi
memandang sekolah sebagai tempat asing yang hanya dikunjungi, tetapi sebagai
rumah kedua yang harus dirawat bersama. Rasa memiliki terhadap fasilitas
sekolah tumbuh perlahan namun pasti, menciptakan generasi yang tidak hanya
terampil secara teknis, tetapi juga matang secara karakter.
Dampak
positif lain yang muncul adalah terciptanya kolaborasi yang sehat antara siswa
dan guru. Guru tidak lagi harus mengurus hal-hal teknis kecil seperti presensi
atau merapikan ruang praktik setelah siswa pergi. Sebaliknya, guru dapat lebih
fokus pada pengajaran dan pendampingan proses belajar. Ini menciptakan efisiensi
waktu dan pembagian peran yang ideal dalam ekosistem sekolah. Bahkan, kegiatan piket juga menjadi media pembelajaran
kontekstual, di mana siswa belajar manajemen, komunikasi, dan kerja sama tim
secara langsung.
Kesimpulannya, jadwal piket harian merupakan solusi sederhana namun efektif
dalam menjaga kebersihan, ketertiban, dan keamanan lingkungan belajar,
khususnya di ruang praktik teknik listrik. Ia bukan hanya soal menyapu atau
mengembalikan alat, tetapi juga menjadi wahana pendidikan karakter yang menyatu
dalam aktivitas keseharian siswa. Tugas yang terkesan
kecil ini ternyata mampu membentuk watak besar dalam diri peserta didik.
Agar
sistem ini berjalan optimal dan berkelanjutan, tentu diperlukan dukungan dari
seluruh elemen sekolah. Guru sebagai pengarah harus memberikan pendampingan dan
penghargaan kepada siswa yang menjalankan tugas dengan baik. Siswa perlu diberi
ruang untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem yang telah berjalan. Sekolah
juga dapat menjadikan sistem piket ini sebagai bagian dari budaya sekolah,
bukan sekadar kewajiban administratif.
Budaya
sekolah yang baik tidak terbentuk dari pidato atau spanduk semata, tetapi dari
kebiasaan baik yang dilatih setiap hari. Dalam hal ini, jadwal piket harian
bukan hanya menjaga ruang tetap bersih, tetapi juga menjaga hati siswa tetap
jernih: terbiasa peduli, terbiasa tanggung jawab, dan terbiasa menjaga yang
menjadi milik bersama. Sebab sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi tempat
bertumbuh menjadi manusia seutuhnya.
Penulis
: Joko Mulyono, S.Pd, Guru SMK
Muhammadiyah 2 Cepu