Skip to Content
Loading...
Nur Imamah
Nur Imamah
Online
Halo 👋
Ada yang bisa dibantu?

Dari Bengkel ke Panggung Presentasi

 



 

Di ruang praktik sekolah vokasi, suara mesin terdengar nyaring bersahut-sahutan. Para siswa dengan sigap membongkar dan merakit komponen, membaca gambar teknik, menyolder, atau memeriksa aliran listrik dengan alat ukur yang mereka kuasai dengan baik. Tidak diragukan lagi, mereka sangat terampil dalam urusan teknis. Namun, ketika tiba saatnya untuk menjelaskan apa yang mereka kerjakan—apa masalahnya, bagaimana solusi teknisnya, dan mengapa metode itu dipilih—banyak yang terdiam, menunduk, atau berbicara sepotong-sepotong dengan suara nyaris tak terdengar. Di sinilah muncul tantangan besar dalam pendidikan vokasi: bagaimana menyeimbangkan kecakapan tangan dengan kepercayaan berbicara.

Kemampuan komunikasi, khususnya public speaking, telah menjadi kompetensi yang tak bisa diabaikan di dunia kerja. Apalagi di era industri modern yang tidak hanya membutuhkan keterampilan teknis, tetapi juga kemampuan untuk menyampaikan ide, mempresentasikan hasil kerja, dan berinteraksi dengan klien atau tim. Perusahaan tidak sekadar mencari tukang yang mahir, tetapi profesional yang bisa menjelaskan pekerjaannya dengan meyakinkan. Sementara itu, proses rekrutmen juga menuntut kemampuan verbal, terutama saat menghadapi sesi wawancara kerja. Banyak siswa vokasi yang sebenarnya sangat potensial secara teknis, namun gagal diterima kerja karena tidak bisa menampilkan diri secara percaya diri.

Fenomena ini tidak hanya terjadi pada satu atau dua siswa. Di banyak sekolah vokasi, guru sering menjumpai siswa yang handal merakit panel listrik atau memperbaiki motor listrik tiga fasa, tetapi langsung panik ketika diminta berdiri dan menjelaskan langkah kerjanya. Suara mereka gemetar, kalimat tidak tersusun rapi, dan terkadang bahkan memilih diam karena takut salah. Dalam konteks yang lebih serius, banyak siswa gagal lolos tahap akhir seleksi kerja karena tidak mampu menjawab pertanyaan pewawancara secara logis dan meyakinkan. Padahal, kemampuan teknis mereka sudah sangat baik dan sesuai dengan kebutuhan industri.

Melihat kenyataan tersebut, sebuah terobosan perlu dilakukan. Sekolah tidak bisa hanya fokus pada keterampilan praktik semata. Maka mulailah muncul strategi yang mengintegrasikan pelatihan komunikasi ke dalam proses belajar mengajar. Salah satu langkah yang diambil adalah menyisipkan kegiatan presentasi di akhir setiap proyek atau praktik. Setelah selesai merakit panel, memperbaiki dinamo, atau menyelesaikan tugas lapangan, siswa diminta mempresentasikan hasil kerjanya di depan guru dan teman-teman sekelas. Tidak sekadar menjelaskan alat yang dipakai, tetapi juga bagaimana mereka menganalisis masalah, memilih metode, dan menyimpulkan hasil pekerjaan.

Guru tidak hanya menilai hasil teknis, tetapi juga memberikan umpan balik terhadap isi dan cara penyampaian. Bahasa tubuh, struktur kalimat, kontak mata, dan keberanian bicara menjadi bagian dari asesmen. Hal ini membuat siswa terbiasa berbicara di depan umum dalam suasana yang aman dan suportif. Mereka mulai belajar mengatasi rasa gugup, memperbaiki cara menyampaikan argumen, dan menjadi lebih percaya diri.

Langkah selanjutnya adalah memasukkan simulasi wawancara kerja dalam ujian praktik. Sekolah mengundang guru tamu, alumni, atau mitra industri untuk menjadi pewawancara. Dalam suasana yang dibuat menyerupai kondisi nyata, siswa duduk dan menjawab pertanyaan seputar kemampuan, pengalaman praktik, hingga rencana masa depan mereka. Simulasi ini bukan hanya melatih verbal siswa, tetapi juga menanamkan kesiapan mental menghadapi proses seleksi kerja yang sebenarnya. Di sinilah siswa mulai menyadari bahwa kemampuan bicara adalah senjata penting untuk membuka pintu masa depan.

Proses ini tentu tidak berjalan dalam semalam. Beberapa siswa memerlukan pendekatan personal dan bertahap. Guru harus peka dan sabar menghadapi mereka yang sangat introvert atau punya trauma bicara di depan orang banyak. Maka, ruang aman pun diciptakan. Suasana kelas diatur agar tidak menghakimi. Teman-teman diminta untuk memberi dukungan dan apresiasi, bukan cemoohan. Kesalahan dilihat sebagai bagian dari proses belajar. Sedikit demi sedikit, siswa yang dulunya selalu menolak tampil, kini mulai angkat tangan ketika diminta mempresentasikan. Mereka belajar bukan hanya dari guru, tetapi juga dari satu sama lain.

Hasilnya luar biasa. Banyak siswa yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga mampu mempertahankan hasil kerjanya dengan penjelasan yang runtut dan meyakinkan. Mereka tidak lagi hanya "tukang" yang bekerja di balik layar, tetapi menjadi "profesional" yang mampu menjelaskan, memimpin, dan meyakinkan. Kemampuan public speaking mereka meningkat tajam, dan ini berdampak langsung pada kesiapan mereka menghadapi wawancara kerja. Data sekolah menunjukkan peningkatan jumlah siswa yang lolos ke dunia kerja, bukan hanya karena portofolio keterampilan, tetapi juga karena mereka tampil meyakinkan saat proses seleksi.

Beberapa alumni bahkan berbagi cerita betapa pengalaman presentasi di sekolah membantu mereka tampil percaya diri saat wawancara dengan HRD atau saat presentasi internal di tempat kerja. Mereka merasa lebih siap karena sudah terbiasa bicara di depan orang sejak di bangku sekolah. Kepercayaan diri mereka tumbuh, bukan dari bakat, tapi dari latihan dan pengalaman yang dibimbing secara konsisten oleh guru-guru yang peduli.

Pendidikan vokasi memang tidak bisa meninggalkan praktik teknis. Namun, menambahkan dimensi komunikasi menjadikan siswa lebih utuh. Mereka tidak hanya siap bekerja dengan tangan, tetapi juga siap berbicara dengan kepala tegak dan hati mantap. Mereka bisa menjelaskan ide, membela hasil kerja, dan membangun hubungan profesional dengan kolega, atasan, maupun klien.

Guru memiliki peran sentral dalam proses ini. Dengan pendekatan yang sabar, sistematis, dan berbasis empati, guru bisa menumbuhkan kepercayaan diri siswa secara bertahap. Mereka bukan hanya mengajarkan teknik, tetapi juga mengasah mental dan keberanian berbicara. Dengan memberi ruang aman, umpan balik yang konstruktif, dan kesempatan tampil, guru menjadi fasilitator transformasi kepribadian siswa.

Di era kerja modern yang menuntut komunikasi efektif, keterampilan berbicara bukan lagi pelengkap, melainkan kebutuhan utama. Sekolah vokasi yang peka terhadap hal ini tidak hanya mencetak lulusan kompeten, tetapi juga profesional yang siap bersaing dan bersinar di dunia nyata. Mereka bukan hanya mekanik hebat, tetapi juga komunikator yang percaya diri.

Karena pada akhirnya, masa depan ditentukan bukan hanya oleh apa yang bisa kita kerjakan, tetapi juga oleh seberapa baik kita bisa menyampaikannya. Maka mari kita terus dorong siswa vokasi untuk tidak hanya mahir di bengkel, tetapi juga percaya diri di panggung presentasi. Di sanalah, masa depan mereka mulai terbentuk dengan lebih utuh dan gemilang.

Penulis : Joko Mulyono, S.Pd,  Guru SMK Muhammadiyah 2 Cepu

Share

Related Posts

Post a Comment

Confirmation of Closure

Are you sure you want to close this video playback?