- Posted by : Joko Mulyono
- on : November 17, 2025
Di
ruang praktik sekolah vokasi, suara mesin terdengar nyaring bersahut-sahutan.
Para siswa dengan sigap membongkar dan merakit komponen, membaca gambar teknik,
menyolder, atau memeriksa aliran listrik dengan alat ukur yang mereka kuasai
dengan baik. Tidak diragukan lagi, mereka sangat terampil dalam urusan teknis.
Namun, ketika tiba saatnya untuk menjelaskan apa yang mereka kerjakan—apa
masalahnya, bagaimana solusi teknisnya, dan mengapa metode itu dipilih—banyak
yang terdiam, menunduk, atau berbicara sepotong-sepotong dengan suara nyaris
tak terdengar. Di sinilah muncul tantangan besar dalam pendidikan vokasi:
bagaimana menyeimbangkan kecakapan tangan dengan kepercayaan berbicara.
Kemampuan
komunikasi, khususnya public speaking, telah menjadi kompetensi yang tak bisa
diabaikan di dunia kerja. Apalagi di era industri modern yang tidak hanya
membutuhkan keterampilan teknis, tetapi juga kemampuan untuk menyampaikan ide,
mempresentasikan hasil kerja, dan berinteraksi dengan klien atau tim.
Perusahaan tidak sekadar mencari tukang yang mahir, tetapi profesional yang
bisa menjelaskan pekerjaannya dengan meyakinkan. Sementara itu, proses rekrutmen juga menuntut kemampuan
verbal, terutama saat menghadapi sesi wawancara kerja. Banyak siswa vokasi yang
sebenarnya sangat potensial secara teknis, namun gagal diterima kerja karena
tidak bisa menampilkan diri secara percaya diri.
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada satu atau dua siswa. Di banyak
sekolah vokasi, guru sering menjumpai siswa yang handal merakit panel listrik
atau memperbaiki motor listrik tiga fasa, tetapi langsung panik ketika diminta
berdiri dan menjelaskan langkah kerjanya. Suara mereka gemetar, kalimat tidak
tersusun rapi, dan terkadang bahkan memilih diam karena takut salah. Dalam
konteks yang lebih serius, banyak siswa gagal lolos tahap akhir seleksi kerja
karena tidak mampu menjawab pertanyaan pewawancara secara logis dan meyakinkan.
Padahal, kemampuan teknis mereka sudah sangat baik dan sesuai dengan kebutuhan
industri.
Melihat kenyataan tersebut, sebuah terobosan perlu dilakukan. Sekolah tidak
bisa hanya fokus pada keterampilan praktik semata. Maka mulailah muncul
strategi yang mengintegrasikan pelatihan komunikasi ke dalam proses belajar
mengajar. Salah satu langkah yang diambil adalah menyisipkan kegiatan
presentasi di akhir setiap proyek atau praktik. Setelah selesai merakit panel,
memperbaiki dinamo, atau menyelesaikan tugas lapangan, siswa diminta
mempresentasikan hasil kerjanya di depan guru dan teman-teman sekelas. Tidak
sekadar menjelaskan alat yang dipakai, tetapi juga bagaimana mereka
menganalisis masalah, memilih metode, dan menyimpulkan hasil pekerjaan.
Guru tidak hanya menilai hasil teknis, tetapi juga memberikan umpan balik
terhadap isi dan cara penyampaian. Bahasa tubuh, struktur kalimat, kontak mata,
dan keberanian bicara menjadi bagian dari asesmen. Hal
ini membuat siswa terbiasa berbicara di depan umum dalam suasana yang aman dan
suportif. Mereka mulai belajar mengatasi rasa gugup, memperbaiki cara
menyampaikan argumen, dan menjadi lebih percaya diri.
Langkah
selanjutnya adalah memasukkan simulasi wawancara kerja dalam ujian praktik.
Sekolah mengundang guru tamu, alumni, atau mitra industri untuk menjadi
pewawancara. Dalam suasana yang dibuat menyerupai kondisi nyata, siswa duduk
dan menjawab pertanyaan seputar kemampuan, pengalaman praktik, hingga rencana
masa depan mereka. Simulasi ini bukan hanya melatih verbal siswa, tetapi juga
menanamkan kesiapan mental menghadapi proses seleksi kerja yang sebenarnya. Di
sinilah siswa mulai menyadari bahwa kemampuan bicara adalah senjata penting
untuk membuka pintu masa depan.
Proses
ini tentu tidak berjalan dalam semalam. Beberapa siswa memerlukan pendekatan
personal dan bertahap. Guru harus peka dan sabar menghadapi mereka yang sangat
introvert atau punya trauma bicara di depan orang banyak. Maka, ruang aman pun diciptakan. Suasana kelas diatur
agar tidak menghakimi. Teman-teman diminta untuk memberi dukungan dan
apresiasi, bukan cemoohan. Kesalahan dilihat sebagai bagian dari proses
belajar. Sedikit demi sedikit, siswa yang dulunya selalu menolak tampil, kini
mulai angkat tangan ketika diminta mempresentasikan. Mereka belajar bukan hanya
dari guru, tetapi juga dari satu sama lain.
Hasilnya luar biasa. Banyak siswa yang tidak hanya kompeten secara teknis,
tetapi juga mampu mempertahankan hasil kerjanya dengan penjelasan yang runtut
dan meyakinkan. Mereka tidak lagi hanya "tukang" yang bekerja di
balik layar, tetapi menjadi "profesional" yang mampu menjelaskan,
memimpin, dan meyakinkan. Kemampuan public speaking mereka meningkat tajam, dan
ini berdampak langsung pada kesiapan mereka menghadapi wawancara kerja. Data
sekolah menunjukkan peningkatan jumlah siswa yang lolos ke dunia kerja, bukan
hanya karena portofolio keterampilan, tetapi juga karena mereka tampil
meyakinkan saat proses seleksi.
Beberapa alumni bahkan berbagi cerita betapa pengalaman presentasi di
sekolah membantu mereka tampil percaya diri saat wawancara dengan HRD atau saat
presentasi internal di tempat kerja. Mereka merasa lebih
siap karena sudah terbiasa bicara di depan orang sejak di bangku sekolah.
Kepercayaan diri mereka tumbuh, bukan dari bakat, tapi dari latihan dan
pengalaman yang dibimbing secara konsisten oleh guru-guru yang peduli.
Pendidikan vokasi memang tidak bisa meninggalkan praktik teknis. Namun,
menambahkan dimensi komunikasi menjadikan siswa lebih utuh. Mereka tidak hanya
siap bekerja dengan tangan, tetapi juga siap berbicara dengan kepala tegak dan
hati mantap. Mereka bisa menjelaskan ide, membela hasil kerja, dan membangun
hubungan profesional dengan kolega, atasan, maupun klien.
Guru
memiliki peran sentral dalam proses ini. Dengan pendekatan yang sabar,
sistematis, dan berbasis empati, guru bisa menumbuhkan kepercayaan diri siswa
secara bertahap. Mereka bukan hanya mengajarkan teknik, tetapi juga mengasah
mental dan keberanian berbicara. Dengan memberi ruang aman, umpan balik yang
konstruktif, dan kesempatan tampil, guru menjadi fasilitator transformasi
kepribadian siswa.
Di era kerja modern yang menuntut komunikasi efektif, keterampilan
berbicara bukan lagi pelengkap, melainkan kebutuhan utama. Sekolah vokasi yang
peka terhadap hal ini tidak hanya mencetak lulusan kompeten, tetapi juga
profesional yang siap bersaing dan bersinar di dunia nyata. Mereka bukan hanya
mekanik hebat, tetapi juga komunikator yang percaya diri.
Karena pada akhirnya, masa depan ditentukan bukan hanya oleh apa yang bisa
kita kerjakan, tetapi juga oleh seberapa baik kita bisa menyampaikannya. Maka
mari kita terus dorong siswa vokasi untuk tidak hanya mahir di bengkel, tetapi
juga percaya diri di panggung presentasi. Di sanalah, masa depan mereka mulai
terbentuk dengan lebih utuh dan gemilang.
Penulis : Joko Mulyono, S.Pd,
Guru SMK Muhammadiyah 2 Cepu
