- Posted by : Joko Mulyono
- on : December 08, 2025
Praktik Kerja Lapangan (PKL) merupakan salah satu pilar penting dalam pendidikan vokasi. Melalui PKL, siswa tidak hanya belajar teori di kelas, tetapi juga mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan mereka di dunia kerja yang sesungguhnya. PKL menjadi jembatan yang menghubungkan pembelajaran di sekolah dengan realitas di Dunia Usaha dan Dunia Industri (DUDI), sekaligus membentuk karakter kerja yang profesional pada siswa. Tanpa PKL, pembelajaran vokasi akan kehilangan unsur kontekstualnya, karena di sinilah siswa mengalami pembelajaran yang otentik, menghadapi tantangan nyata, dan belajar beradaptasi dengan kultur kerja.
Namun, keberhasilan PKL tidak hanya ditentukan oleh penempatan siswa di perusahaan, tetapi juga oleh proses monitoring yang dilakukan sekolah. Monitoring menjadi mekanisme kontrol dan pembinaan untuk memastikan siswa mendapatkan pengalaman belajar terbaik, sekaligus menjaga hubungan baik antara sekolah dan DUDI. Sayangnya, di banyak sekolah, pelaksanaan monitoring belum optimal. Guru terkadang hanya hadir untuk mengisi formalitas kunjungan, seperti meminta tanda tangan dan stempel, tanpa melakukan komunikasi yang mendalam dengan pembimbing industri atau siswa. Padahal, tanpa monitoring yang efektif, banyak risiko yang bisa muncul.
Dampak buruk dari monitoring yang tidak berjalan optimal sangat nyata. Siswa berpotensi tidak terpantau perkembangan teknis maupun sikap kerjanya. Masalah-masalah yang dialami siswa, seperti kesulitan teknis, adaptasi budaya kerja, atau konflik interpersonal, bisa terlewatkan dan tidak tertangani. Hubungan sekolah dengan DUDI pun dapat terganggu, karena pihak industri merasa sekolah kurang serius dalam membina siswanya selama PKL. Akibatnya, citra sekolah bisa menurun, dan kesempatan kerja sama di masa depan menjadi lebih sulit.
Masalah ini semakin kompleks ketika diidentifikasi secara lebih mendalam. Salah satu kendala terbesar adalah jumlah guru produktif yang terbatas di setiap jurusan. Guru yang ada sudah terbebani oleh jam mengajar yang padat, sehingga sulit bagi mereka untuk melakukan monitoring dengan intensitas yang memadai. Di sisi lain, tolman (tutor lapangan) jurusan terkadang diminta untuk menggantikan peran guru dalam monitoring, namun pendekatan yang dilakukan cenderung sebatas formalitas. Mereka hadir hanya untuk mendapatkan stempel sebagai bukti kunjungan, tanpa membangun komunikasi bermakna yang seharusnya menjadi inti dari monitoring.
Kondisi ini berdampak langsung pada kualitas pembinaan siswa. Banyak siswa yang selama PKL tidak mendapatkan supervisi menyeluruh, baik dari segi teknis pekerjaan maupun sikap kerja. Mereka dibiarkan menghadapi tantangan sendiri tanpa bimbingan atau umpan balik dari pihak sekolah. Di sisi lain, pihak industri bisa merasa diabaikan, karena kurangnya koordinasi dan komunikasi membuat mereka seolah bekerja sendiri membina siswa. Hubungan yang awalnya harmonis menjadi renggang, dan dalam jangka panjang bisa mengurangi minat industri untuk menerima siswa PKL dari sekolah tersebut.
Untuk mengatasi permasalahan ini, sekolah mengambil langkah strategis yang terstruktur. Langkah pertama adalah melakukan koordinasi lintas bidang. Waka Urusan Humas menjadi motor penggerak yang menghubungkan berbagai pihak, mulai dari Tim Kurikulum, Waka SDM, hingga Ketua Jurusan. Tujuannya adalah mencari solusi yang efektif dan efisien untuk pelaksanaan monitoring PKL, dengan mempertimbangkan keterbatasan sumber daya yang ada. Dalam koordinasi ini, setiap pihak menyampaikan perspektifnya, sehingga solusi yang dihasilkan benar-benar komprehensif dan dapat diimplementasikan.
Langkah kedua adalah analisis beban kerja guru. Tim Kurikulum bekerja sama dengan SDM untuk memetakan jam mengajar guru kelas XII, terutama guru produktif di masing-masing jurusan. Dari hasil analisis ini, sekolah dapat menentukan guru yang masih memiliki ruang waktu untuk melakukan monitoring. Prinsip yang digunakan adalah menugaskan guru sesuai jurusannya, agar komunikasi dengan siswa dan industri lebih efektif karena guru memahami bahasa teknis yang digunakan di lapangan.
Tahap berikutnya adalah penempatan dan pembiayaan. Waka Humas bersama ketua jurusan menyusun skema penempatan guru monitoring yang mempertimbangkan jarak industri, jumlah siswa, dan beban kerja guru. Selain itu, analisis pembiayaan dilakukan secara detail untuk memastikan pelaksanaan monitoring berjalan lancar tanpa membebani guru. Hal ini mencakup transportasi, akomodasi jika diperlukan, dan biaya lain yang terkait langsung dengan kegiatan monitoring. Pendekatan ini membuat guru merasa lebih dihargai dan memiliki motivasi yang tinggi dalam menjalankan tugasnya.
Persiapan administratif juga menjadi bagian penting dari strategi ini. Waka Humas menyiapkan berkas monitoring, yang terdiri dari formulir evaluasi siswa, panduan pelaksanaan monitoring, dan surat tugas resmi. Dengan adanya panduan yang jelas, guru memiliki acuan dalam melakukan kunjungan, sehingga monitoring tidak hanya sebatas formalitas. Ketua jurusan kemudian mendistribusikan surat tugas kepada guru yang telah ditunjuk, memastikan semua pihak memahami peran dan tanggung jawabnya.
Hasil dari strategi ini terlihat jelas. Guru pengampu kelas XII yang ditugaskan melakukan monitoring dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan sesuai jurusan masing-masing. Setiap kunjungan monitoring tidak hanya menghasilkan tanda tangan atau stempel, tetapi juga percakapan bermakna antara guru, siswa, dan pembimbing industri. Guru dapat memberikan masukan langsung terkait keterampilan teknis, sikap kerja, dan etika profesional siswa.
Dampak positif lainnya adalah seluruh siswa termonitoring dengan baik selama PKL. Masalah-masalah yang muncul di lapangan dapat segera diidentifikasi dan diselesaikan. Siswa yang mengalami kesulitan teknis mendapatkan bimbingan yang tepat, sedangkan siswa yang mengalami kendala sikap kerja dapat diarahkan agar lebih adaptif dan profesional. Pihak industri pun merasa terbantu, karena sekolah hadir sebagai mitra aktif dalam membina siswa.
Hubungan sekolah dengan DUDI menjadi semakin baik. Komunikasi yang intens dan koordinasi yang rapi menciptakan hubungan yang lebih profesional dan berkelanjutan. Pihak industri melihat sekolah sebagai mitra yang serius dan bertanggung jawab, sehingga kepercayaan mereka meningkat. Dalam jangka panjang, ini akan membuka peluang kerja sama yang lebih luas, baik dalam bentuk penerimaan siswa PKL, pelatihan guru, maupun rekrutmen lulusan.
Dari pengalaman ini, dapat disimpulkan bahwa monitoring PKL bukan sekadar tugas administratif, tetapi bagian penting dari pembinaan siswa dan citra sekolah. Pelaksanaan monitoring yang terencana dan melibatkan guru secara tepat dapat memberikan manfaat ganda: meningkatkan kualitas pengalaman belajar siswa di industri sekaligus memperkuat hubungan dengan DUDI.
Ke depan, sekolah dapat terus mengembangkan model monitoring yang adaptif. Pemanfaatan teknologi seperti laporan daring, video call, atau aplikasi monitoring berbasis peta digital dapat menjadi inovasi yang memperluas jangkauan pengawasan tanpa menambah beban guru secara berlebihan. Dengan kombinasi koordinasi yang baik, penempatan guru yang tepat, dan dukungan teknologi, sekolah dapat memastikan bahwa PKL benar-benar menjadi ajang pembelajaran yang bermakna bagi siswa dan memperkokoh sinergi dengan dunia kerja.
Penulis : Joko Mulyono, S.Pd, Guru SMK Muhammadiyah 2 Cepu
